Nama lengkapnya Mush’ab bin ‘Umair bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab. Sahabat Nabi yang termasuk dalam rombongan hijrah pertama ini dikenal sebagai sosok yang bijak dalam berdakwah. Berkat kemampuan diplomatis dan kesantunannya dalam menyampaikan nilai-nilai Islam, ia dapat dengan mudah mengajak non Muslim menjadi muallaf. Simak kisah lengkapnya sebagaimana disampaikan oleh Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam Raḫîqul Makhtûm.
Setelah berhasil mengislamkan enam penduduk Yatsrib dalam Baiat Aqabah pada tahun 11 kenabian, Rasulullah mulai berencana untuk mengirim sejumlah delegasi untuk menyampaikan nilai-nilai Islam di kota yang kelak bernama Madinah itu. Tentu, bukan sembarang orang yang Nabi utus, melainkan para sahabat yang sudah dipercaya mampu menyampaikan ajaran Islam dengan cara-cara yang baik dan santun.
Salah satu duta Islam yang Nabi utus adalah Mush’ab bin ‘Umair. Disebutkan, Mush’ab melakukan cara diplomatis yang cantik dan menyampaikan ajaran Islam dengan santun. Berkat caranya inilah sejumlah penduduk Yatsrib menjadi muallaf.
Dikisahkan, sekali waktu Mush’ab diutus oleh Rasulullah ke Yatsrib untuk menyebarkan agama Islam, sesampainya di sana ia menginap di rumah As’ad bin Zurarah. Selanjutnya, As’ad juga turut menemani Mush’ab dalam menjalankan tugas mulianya itu. Sekali waktu keduanya mendatangi perkampungan Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar untuk mengajak mereka memeluk agama Islam.
Setibanya di sana, keduanya duduk di sebuah kebun milik Bani Zhafar bersama beberapa orang yang sudah masuk Islam. Sementara itu, Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Khadir yang menjadi pemimpin kaumnya di Bani Asyhal masih musyrik. Begitu keduanya mendengar kedatangan dan maksud Mush’ab dan As’ad, Usaid menemui keduanya dengan membawa tombak, siap untuk mengusirnya.
Dengan wajah muram dan suara tinggi Usaid berkata kepada keduanya, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Apakah kalian berdua hendak membodoh-bodohkan orang-orang yang lemah di antara kami? Jauhilah kami jika kalian ada keperluan untuk diri kalian!”
Dengan santai dan sopan Mush’ab menimpali, “Silakan duduk agar engkau paham apa yang akan aku sampaikan. Jika engkau menyukainya, engkau boleh menerimanya. Tapi jika engkau tidak sependapat, kau bisa menolaknya.”
Mendengar ucapan Mush’ab, Usaid merasa kagum. “Engkau cukup adil,” aku Usaid.
Lantas Mush’ab menjelaskan tantang agama Islam kepadanya dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Tak disangka, Usaid setuju dengan apa yang disampaikan Mush’ab dan hatinya begitu saja luluh, bahkan ia tertarik untuk memeluk agama Islam. “Betapa bagus dan indah. Apa yang harus aku lakukan jika ingin memeluk agama Islam?” tanya Usaid.
Mush’ab kemudian menyuruhnya mandi untuk bersuci dan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Setelah menyatakan masuk Islam, Usaid kembali ke kaumnya dan membujuk Sa’d bin Mu’adz agar menemui Mush’ab. Upayanya berhasil dan Sa’d pun menemui Mush’ab persis seperti ketika Usaid menemuinya dan menyatakan masuk Islam.
Kini dua pimpinan kaum itu telah menjadi seorang Musim, otomatis orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya (Bani Asyhal) mengikuti. Dengan demikian Mush’ab tidak perlu capek-capek mengislamkan satu persatu. Kecuali seorang yang bernama Al-Ushairim, dia menunda keislamannya sampai momen Perang Uhud dan syahid dalam pertempuran itu.
Kelembutan Mush’ab dalam menyampaikan ajaran Islam membuat dakwahnya sukses besar, sampai-sampai bisa dipastikan di setiap perkampungan di Yatsrib terdapat sejumlah orang yang sudah masuk Islam. Terkecuali di perkampungan Bani Umayyah bin Zaid, Khatmah, dan Wa’il, sebab di lingkungan mereka ada Qais bin Al-Aslat, seorang penyair ulung yang sangat berpengaruh.
Keberhasilan dakwah Mush’ab ini juga terbukti saat Baiat Aqabah kedua pada 622 M. Jika dulu pada baiat sebelumnya hanya diikuti enam penduduk Yatsrib, kini jumlahnya mencapai lebih dari 70 orang. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Raḫîqul Makhtûm, t.th:129-133)
Prinsip Dakwah Santun
Sejatinya cara berdakwah yang dikehendaki Rasulullah saw adalah menyampaikan nilai-nilai Islam dengan penuh santun. Inilah yang dilakukan oleh beliau sehingga mampu mengislamkan sekian banyak umat manusia hanya dalam perjalanan dakwah 23 tahun, 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah swt:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16]: 125).
Ayat di atas menegaskan bahwa dakwah yang baik adalah dengan cara persuasif, bukan menggunakan paksaan apalagi disertai kekerasan. Kebenaran yang disampaikan dengan paksaan dan kekerasan akan sulit diterima, bahkan sangat mungkin mendatangkan perlawanan dan kerugian yang tidak diinginkan.
Dalam haditsnya Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا
Artinya, “Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan memuat manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah (dalam melaksanakan tugas) dan jangan berselisih. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut Nabi sampaikan saat dulu beliau mengutus Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal untuk menyampaikan surat dakwah kepada pemimpin di negeri Yaman. Beliau berpesan agar dalam berdakwah jangan membuat agama Islam terkesan memberatkan orang-orang sehingga dakwah sulit diterima masyarakat. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 2001: juz 10, h. 542) .
Mari warnai dunia dakwah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan. Menghentikan kemungkaran dengan kekerasan ibarat memadamkan kobaran api dengan menyiramkan bensin. Bukan redup justru semakin besar bahkan bisa membakar orang yang menjinakannya. Wallahu a’lam.