Sekaten dan Maulid Nabi Muhammad SAW: Harmoni Tradisi Keraton Jawa dan Spiritualitas Islam

oleh
iklan

Oleh: Govinda (Penggiat Budaya Jawa)

Setiap tahun, masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta, merayakan sebuah tradisi besar yang dikenal sebagai Sekaten. Perayaan ini erat kaitannya dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan kelahiran Nabi yang mulia. Namun, dalam tradisi Jawa, Sekaten bukan hanya sekadar peringatan keagamaan, tetapi juga sebuah wujud akulturasi budaya, spiritualitas, dan nilai-nilai kebangsaan. Bagi Keraton Jawa, Sekaten memiliki makna yang lebih dalam, yang mencerminkan harmoni antara ajaran Islam dan kearifan lokal yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Sekaten berasal dari kata Syahadatain, yang merujuk pada dua kalimat syahadat dalam Islam: “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.” Kalimat ini menjadi inti dari keyakinan Islam, yakni pengakuan terhadap keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dalam tradisi Sekaten, masyarakat Jawa diundang untuk memperbaharui syahadat mereka, sehingga secara simbolis menguatkan iman kepada Islam.

Meskipun berasal dari ajaran Islam, Sekaten diadaptasi dan dikemas dengan kearifan lokal oleh para wali, khususnya Sunan Kalijaga, untuk menarik perhatian masyarakat Jawa yang pada saat itu masih banyak menganut kepercayaan lama. Melalui Sekaten, Islam disebarkan dengan pendekatan budaya yang halus, sehingga memudahkan masyarakat untuk menerima ajaran baru tanpa harus meninggalkan sepenuhnya tradisi lama.

Di Yogyakarta dan Surakarta, Sekaten diadakan selama seminggu penuh menjelang peringatan Maulid Nabi. Acara dimulai dengan ditabuhnya gamelan Kyai Sekati, gamelan keramat milik Keraton, di alun-alun utara. Alunan musik tradisional ini mengundang masyarakat untuk datang, mengikuti rangkaian acara dan mendengarkan dakwah para ulama. Gamelan ini tidak hanya menjadi daya tarik, tetapi juga simbol dari keselarasan antara Islam dan budaya Jawa yang tetap dijaga hingga hari ini.

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia untuk mengingat dan merayakan kelahiran Nabi. Di Jawa, perayaan ini memiliki dimensi unik, karena dipadukan dengan elemen budaya dan tradisi keraton yang sarat dengan simbolisme. Di sinilah makna Maulid Nabi melampaui peringatan biasa; ia menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara rakyat dan keraton, sekaligus menyatukan ajaran Islam dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Jawa.

Dalam konteks keraton, Maulid Nabi dirayakan dengan serangkaian upacara yang penuh dengan keagungan. Di antaranya adalah arak-arakan gunungan, sebuah gunung kecil yang terbuat dari hasil bumi seperti sayur, buah, dan makanan lainnya, yang diarak dari keraton menuju masjid. Gunungan ini melambangkan kemakmuran dan keberkahan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Setelah arak-arakan, gunungan akan diperebutkan oleh masyarakat, yang meyakini bahwa membawa pulang bagian dari gunungan akan mendatangkan keberuntungan dan keselamatan.

Namun, di balik perayaan yang meriah ini, tersimpan makna spiritual yang dalam. Maulid Nabi mengingatkan umat Islam akan keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam menjalani kehidupan. Dalam tradisi Jawa, keteladanan ini diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari yang penuh dengan kerendahan hati, kebijaksanaan, dan kasih sayang terhadap sesama. Dengan merayakan Maulid Nabi melalui tradisi Sekaten, masyarakat diajak untuk meneladani akhlak Nabi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu aspek yang menarik dari Sekaten adalah kemampuannya untuk mempertahankan harmoni antara ajaran Islam dan budaya lokal. Bagi Keraton Jawa, ini bukan sekadar perayaan agama, tetapi juga manifestasi dari filosofi Jawa tentang keseimbangan dan keterhubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Ajaran Islam, yang dibawa oleh para wali, diterima dengan cara yang bijaksana oleh masyarakat Jawa melalui pendekatan yang merangkul budaya lokal.

Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa memainkan peran penting dalam menjaga tradisi ini. Di Yogyakarta, Sultan selalu terlibat langsung dalam prosesi Sekaten, memperlihatkan bahwa meskipun modernisasi dan globalisasi terus berjalan, nilai-nilai tradisional dan spiritual tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Sultan dianggap sebagai pemimpin yang tidak hanya memiliki kekuasaan politik, tetapi juga kekuasaan spiritual, yang menjadi penghubung antara rakyat dengan Tuhan.

Tradisi Sekaten juga menunjukkan bagaimana Islam di Jawa diwarnai dengan nilai-nilai lokal yang unik. Tidak ada pertentangan antara Islam dan budaya Jawa; sebaliknya, keduanya justru saling melengkapi. Gamelan yang digunakan dalam perayaan Sekaten, misalnya, dianggap sebagai alat untuk menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang lebih bisa diterima oleh masyarakat Jawa, yang sejak dulu memiliki keterikatan kuat dengan seni dan budaya.

Di tengah dinamika kehidupan modern, tradisi seperti Sekaten sering kali dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang tidak relevan lagi. Namun, justru di era ini, makna Sekaten semakin penting untuk dipahami. Sekaten mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan duniawi. Di satu sisi, perayaan ini mengingatkan kita untuk selalu mengingat asal-usul spiritual kita melalui Maulid Nabi. Di sisi lain, ia juga menunjukkan bahwa tradisi dan budaya lokal memiliki nilai yang harus dijaga dan dilestarikan.

Dalam masyarakat yang semakin global, Sekaten juga bisa menjadi simbol dari identitas lokal yang kuat. Keraton Jawa telah berhasil memelihara tradisi ini selama berabad-abad, dan hal ini menunjukkan bahwa meskipun dunia terus berubah, nilai-nilai spiritual dan budaya tetap bisa hidup berdampingan dengan modernitas.

Sekaten bukan hanya sekadar perayaan tahunan, melainkan cerminan dari keharmonisan antara Islam dan budaya Jawa. Melalui tradisi ini, Keraton Jawa dan masyarakat setempat mengingatkan kita bahwa ajaran agama dan budaya dapat hidup berdampingan, saling memperkaya dan memperkuat. Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momen refleksi bagi kita semua, untuk tidak hanya mengenang sejarah, tetapi juga meneladani akhlak Nabi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah arus globalisasi, Sekaten dan Maulid Nabi menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan budaya.

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *