Mengembalikan Kesadaran Konstitusional: Meluruskan Istilah “Pelantikan Presiden” dan Makna Sejarah Bangsa

oleh
iklan

Oleh: Mas Raden (Pemred Portalistana.Id / Penggerak Nasional Generasi Pancasila)

Penggunaan istilah “Pelantikan Presiden” telah menjadi bagian dari kebiasaan yang diterima luas di masyarakat. Setiap kali presiden baru terpilih, media, masyarakat, dan bahkan pejabat pemerintahan kerap menggunakan istilah ini. Namun, secara konstitusional, terminologi yang tepat sebenarnya adalah “Pengucapan Sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia.” Ini adalah terminologi yang jelas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun telah tergeser oleh istilah yang lebih singkat dan populer.

Penggunaan istilah yang keliru ini tampaknya sederhana, tetapi memiliki implikasi lebih dalam. Ketidaksesuaian istilah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita telah melakukan pembiasaan yang tidak tepat terhadap hal-hal penting dan sakral dalam tata kenegaraan. Jika dibiarkan, pembiasaan seperti ini dapat mereduksi makna konstitusional dan nilai-nilai yang diperjuangkan para pendiri bangsa.

Pembiasaan penggunaan istilah “Pelantikan Presiden” seakan-akan hanya merupakan peresmian jabatan belaka, tanpa menyentuh makna mendalam dari sebuah sumpah jabatan. Padahal, dalam momen pengucapan sumpah jabatan, presiden dan wakil presiden tidak sekadar dilantik, tetapi berjanji di hadapan rakyat dan perwakilan mereka di parlemen untuk menjalankan amanah dan tanggung jawab konstitusional. Ini adalah momen yang sakral, di mana sumpah tersebut mengikat presiden secara moral, hukum, dan konstitusional untuk mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara.

Dengan menggunakan istilah “pelantikan”, kita kehilangan fokus pada esensi sumpah yang diucapkan dan janji yang harus ditepati. Istilah “pelantikan” cenderung menekankan seremonial formalitas, sementara “pengucapan sumpah jabatan” menekankan tanggung jawab dan komitmen kepada rakyat.

Kondisi ini mirip dengan pembiasaan penggunaan istilah “Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia”, yang secara umum diterima masyarakat, namun sebenarnya berbeda makna dengan “Kemerdekaan Bangsa Indonesia”. Pada tanggal 17 Agustus 1945, yang dirayakan sebagai Hari Kemerdekaan, yang diproklamasikan adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Sedangkan Republik Indonesia sebagai sebuah negara baru terbentuk secara resmi pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah Konstitusi UUD 1945 disahkan.

Kedua istilah ini mengandung perbedaan mendasar, baik secara makna maupun sejarah. Kemerdekaan bangsa adalah sebuah semangat pembebasan dari belenggu kolonialisme, yang menekankan kedaulatan rakyat dan harga diri sebagai bangsa merdeka. Sementara itu, pembentukan negara Republik Indonesia adalah langkah selanjutnya dalam membangun struktur pemerintahan yang sah dan diakui di bawah sistem hukum dan konstitusi. Ketika kita hanya fokus pada “Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia,” ada kemungkinan kita melupakan atau mengurangi apresiasi terhadap perjuangan dan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia itu sendiri.

Pembiasaan istilah-istilah yang tidak tepat seperti “Pelantikan Presiden” dan “Peringatan Hari Kemerdekaan” bisa berdampak negatif terhadap nilai-nilai yang ingin kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Istilah bukanlah sekadar rangkaian kata, tetapi mengandung makna, sejarah, dan spirit. Ketika kita secara tidak sadar mereduksi makna istilah tersebut, kita juga kehilangan sebagian dari warisan moral dan konstitusional yang ditinggalkan oleh para pendiri bangsa.

Menggunakan istilah yang tepat sesuai dengan konstitusi dan sejarah bukanlah hal remeh. Ini adalah langkah penting untuk kembali menyadarkan diri kita akan jati diri bangsa. Setiap bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, menghormati konstitusinya, dan memahami esensi dari simbol-simbol negara yang dijunjung tinggi.

Pada 20 Oktober 2024, Indonesia akan menyaksikan momen sakral pengambilan sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden di hadapan MPR, DPR, dan DPD. Momen ini tentu memiliki makna yang sangat mendalam bagi penulis, mengingat tokoh yang diidolakan, Bapak Prabowo Subianto, akan mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Ini adalah kesempatan untuk merenungkan pentingnya menjaga nilai-nilai konstitusi dan memahami setiap aspek sumpah yang diucapkan dengan penuh tanggung jawab.

Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu membedakan makna-makna penting ini dan kembali kepada esensi serta spirit yang ingin dibangun oleh para pendiri bangsa. Proses pengucapan sumpah jabatan bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah janji di hadapan bangsa yang harus ditepati selama masa jabatan.

Oleh karena itu, kita harus lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah-istilah penting yang berkaitan dengan kenegaraan. “Pengucapan Sumpah Jabatan” lebih dari sekadar seremonial, ini adalah komitmen moral dan hukum yang mengikat presiden dan wakil presiden kepada rakyat. Begitu pula, perayaan kemerdekaan bangsa harus dipahami sebagai bentuk penghormatan atas perjuangan kemerdekaan dan hakikat kedaulatan rakyat.

Kita harus bersama-sama menyadari dan meluruskan pembiasaan yang keliru ini. Jika dibiarkan, kita berisiko kehilangan nilai-nilai yang menjadi dasar dari berdirinya bangsa dan negara kita. Kembali kepada jati diri bangsa yang sesungguhnya berarti menghormati perjuangan para pendiri bangsa dan menjaga semangat kemerdekaan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

iklan

Pewarta : Redaksi Istana

Gambar Gravatar
Deskripsi tentang penulis berita di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *