Jakarta — Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perkara nomor 66/PUU-XXII/2024 yang menguji Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan berlangsung menarik, dengan pernyataan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyoroti aspek spiritual dalam kaitannya dengan terminologi “kemerdekaan Bangsa Indonesia” dan “kemerdekaan Negara Republik Indonesia.” Kamis (5/12/2024)
Dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli Dr. Andi Achdian, Hakim Arief mengaitkan fakta sejarah dengan potensi dampak terminologis dan spiritual terhadap kondisi bangsa. “Pada waktu 17 Agustus, jelas itu adalah kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tetapi di dalam peraturan perundangan yang diuji ini, disebut kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Apakah ini kurang pas secara faktual, aktual, dan empirik?” tanyanya.
Ia juga mengajukan pandangan reflektif terkait dampak terminologi tersebut terhadap dinamika spiritual bangsa.
“Apakah perbedaan ini berdampak negatif secara spiritual? Sehingga bangsa ini setelah 79 tahun kok tidak baik-baik saja?” ujar Arief, menambahkan bahwa ia tidak dapat mendalami aspek spiritual lebih jauh karena ahli yang hadir bukan spesialis dalam bidang tersebut.
Hakim Arief juga mengangkat aspek budaya dalam pembahasannya, mencontohkan perubahan nama Bung Karno sebagai bagian dari tradisi Jawa untuk mencari harmoni spiritual. Ia bertanya, “Apakah perlu ‘diruwat’ untuk mengembalikan terminologi yang benar, yaitu kemerdekaan Bangsa Indonesia?”
Ahli yang hadir, Dr. Andi Achdian, merespons dengan menggambarkan pentingnya konsep “bangsa” dalam sejarah Indonesia. “Konsep bangsa menjadi temuan politis yang sangat penting. Ini berbeda dengan deklarasi bangsa lain yang lebih sosiologis atau filosofis,” jelasnya. Ia menambahkan, perjuangan bangsa Indonesia adalah narasi panjang untuk mengatasi perpecahan yang sebelumnya didasarkan pada identitas kedaerahan.
Andi juga menguraikan perdebatan historis tentang kapan negara Indonesia berdiri. Menurutnya, proklamasi pada 17 Agustus 1945 bersifat darurat dan menyimbolkan transfer kekuasaan. Namun, bentuk konkret negara dengan wilayah hukum tertentu baru ditetapkan pada 18 Agustus 1945 melalui pengesahan Undang-Undang Dasar 1945.
“Proklamasi adalah peristiwa darurat yang menegaskan semangat bangsa, tetapi bentuk konkret negara lahir melalui keputusan politik pada 18 Agustus. Ini menunjukkan bahwa proklamasi dan pembentukan negara adalah proses yang terpisah namun saling melengkapi,” ujar Andi.
Hakim Arief juga menekankan pentingnya MK tidak keliru dalam memutus perkara.
“Kalau keliru, kita berdosa juga. Ini Indonesia salahnya juga karena MK tidak mau membetulkan itu,” katanya.
Menutup pernyataannya, Dr. Andi menyoroti bahwa konsep bangsa Indonesia tetap relevan sebagai pengikat identitas nasional di tengah tantangan globalisasi.
“Bangsa adalah unique marker kita sebagai komunitas bersama. Perjuangan ini akan terus relevan dalam menghadapi homogenisasi budaya,” pungkasnya.
Sidang ini mencerminkan diskusi mendalam tentang esensi sejarah, budaya, dan hukum dalam membangun narasi kebangsaan Indonesia, dengan Mahkamah Konstitusi berada di garis depan dalam memastikan terminologi yang tepat demi menjaga keutuhan dan identitas bangsa.[den/red]