Bernard Wilhelm Lapian adalah seorang pejuang nasionalis berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Perjuangannya dilakukan dalam berbagai bidang dan dalam rentang waktu sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai pada zaman kemerdekaan Indonesia.
Bernard Wilhelm Lapian lahir di Kawangkoan, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada tanggal 30 Juni 1892. Ayahnya bernama Enos Lapian dan ibunya bernama Petronella Geertruida Mapaliey. Karena jabatan ayahnya sebagai kepala Sekolah Rakyat (volksschool) di Kawangkoan, Lapian bisa masuk sekolah dasar bahasa Belanda (Amurangse School) di Amurang, sekitar 40 kilometer dari Kawangkoan. Ia kemudian mengambil kursus-kursus hingga tingkat sekolah menengah pertama (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO).
Lapian berusia 17 pada tahun 1909 ketika ia mulai bekerja di perusahaan pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Ia bekerja untuk KPM selama 20 tahun. Pada awalnya ia bekerja di atas kapal, tapi pada tahun 1919 Lapian mendapat tanggung jawab sebagai hofmeester yang mengurus logistik kapal dan bekerja di Batavia (sekarang Jakarta). Pada saat berada di Batavia, ia mengirim artikel-artikel ke surat kabar Pangkal Kemadjoean dengan fokus untuk memerangi kolonialisme Belanda. Ia juga menerbitkan surat kabar bernama Fadjar Kemadjoean (1924–1928) yang berisi tulisan-tulisan berkaitan dengan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun 1940, ia menerbitkan sebuah koran lokal di Kawangkoan bernama Semangat Hidoep.
Lapian pernah menjadi wakil rakyat dalam dua kapasitas, yang satu dalam wilayah lokal dan satu lagi untuk seluruh Hindia Belanda. Dari 1930 hingga 1942, ia adalah anggota dewan lokal yang disebut Dewan Minahasa (Minahasaraad) di Manado. Anggota dewan ini mewakili orang-orang di seluruh wilayah Minahasa dan Lapian mewakili rakyat dari Kawangkoan. Pada tahun 1938, Lapian juga menjadi anggota Dewan Rakyat untuk Hindia Belanda (Volksraad) di Batavia. Ia bergabung dengan Fraksi Nasional yang dipimpin oleh Mohammad Husni Thamrin.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di mana semua gereja Kristen berada di bawah naungan satu institusi Indische Kerk yang dikendalikan oleh pemerintah kolonial; Lapian bersama tokoh-tokoh lainnya, termasuk Sam Ratulangi dan A.A. Maramis, mendeklarasikan berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada bulan Maret 1933. KGPM adalah suatu gereja mandiri hasil bentukan putra-putri bangsa sendiri yang tidak bernaung di dalam Indische Kerk. Pada mulanya, Lapian diangkat sebagai sekretaris. Ia kemudian diangkat sebagai ketua KGPM pada tahun 1938 dan dalam jabatannya ia membantu mendirikan 16 sekolah dasar dan 17 sekolah menengah.
Pada akhir Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda bertekad untuk kembali ke Indonesia dan upaya ini didukung oleh pasukan Sekutu yang memasuki Indonesia setelah Jepang menyerah. Pada tanggal 14 Februari 1946, sekelompok prajurit Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di Manado dengan bantuan pemuda setempat dan pejuang kemerdekaan menangkap para perwira KNIL yang berkebangsaan Belanda. Pada tanggal 16 Februari 1946, Lapian yang merupakan Residen Manado pada waktu itu ditunjuk menjadi kepala pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi Utara. Keadaan ini berlangsung hingga 10 Maret 1946, ketika Belanda berhasil menduduki kembali wilayah itu. Lapian ditangkap dan dipenjarakan di Manado. Ia dipindahkan ke Cipinang di Jakarta tahun 1947 dan kemudian ke Sukamiskin di Bandung tahun 1948. Ia dibebaskan pada tanggal 20 Desember 1949 setelah Konferensi Meja Bundar.
Lapian menjadi Pejabat Gubernur Sulawesi pada tanggal 17 Agustus 1950 dan menjabat sampai 1 Juli 1951. Selama masa jabatannya sebagai pejabat gubernur, Lapian membuka dan mengembangkan daerah di sekitar Dumoga di Bolaang Mongondow untuk pemukiman dan pertanian. Ia membangun jalan yang menghubungkan Kotamobagu dan wilayah Molibago. Ia juga membentuk dewan perwakilan daerah di seluruh wilayah Sulawesi dan melakukan pemilihan pasca-kemerdekaan pertama di wilayah Minahasa pada tanggal 14 Juni 1951. Ia juga memulai upaya untuk mencapai perdamaian dengan pemberontakan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.
Lapian meninggal pada tanggal 5 April 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada tahun 1958, Lapian dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya dan pada tahun 1976 ia menerima penghargaan Bintang Mahaputra Pratama. Ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara pada tanggal 5 November 2015. Sebuah monumen didirikan di Kawangkoan untuk Lapian dan Ch. Ch. Taulu untuk memperingati keterlibatan mereka dalam peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado.
Lapian menikah dengan Maria Adriana Pangkey pada tanggal 30 Mei 1928 di Tomohon. Mereka mempunyai enam anak termasuk Adrian Bernard Lapian, seorang ahli dalam sejarah maritim Indonesia, dan Louisa Magdalena Lapian, seorang ahli hukum. Saudara laki-laki Lapian yakni Benjamin Julian ‘Bert’ Lapian, pernah juga menjabat sebagai wali kota Manado dari 1 Maret 1952 hingga 1 September 1953.
Salah satu cucunya adalah tokoh aktivis politik Indonesia Jack Boyd Lapian.