Bagi Negara Pancasila, Tugas Negara Adalah Memfasilitasi, Bukan Menentukan Cara Peribadatan

oleh
iklan

JAKARTA – Polemik penentuan 1 Syawal yang mengakibatkan fitnah terhadap Muhammadiyah pada Ramadan 1444 H kemarin adalah potensi yang telah dipetakan oleh Persyarikatan Muhammadiyah jauh-jauh hari.

Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, fitnah bahwa Muhammadiyah tidak taat pemerintah merupakan ekses dari apa yang dinamakan sebagai Rezimentasi Paham Agama. Catatan Muhammadiyah terhadap isu ini telah disertakan pada pembahasan Sidang Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta tahun 2022.

“Ada catatan penting ketika kami menyampaikan keputusan Muktamar tentang fenomena Rezimentasi Paham Agama, di mana ada upaya yang sangat sistematis supaya paham agama tertentu diformalkan atau diformalisasikan sebagai paham negara, misalnya rukyatul hilal,” kata Mu’ti dalam Silaturahim Idulfitri 1444 H Keluarga Besar Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta Pusat, Rabu (3/5).

Kritik Muhammadiyah terhadap isu ini disebabkan konsistensi Muhammadiyah menjaga UUD 1945. Isu Rezimentasi, menurut Mu’ti merusak konstruksi bentuk Indonesia sebagai Negara Pancasila, yakni negara yang berdiri di atas semua golongan tanpa kecuali.

“Karena persoalan awal Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijah adalah wilayah ibadah mahdah, yang karena itu maka negara atau pemerintah tidak punya kewenangan sampai ke sana. Kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk suatu agama dan beribadah sesuai kepercayaannya itu. Sebab Indonesia sebagai Negara Pancasila tentu berbeda dengan Saudi Arabia, juga dengan Malaysia (yang menentukan mazhab fikih tertentu dalam tata negara),” jelas Mu’ti.

“Sedangkan Indonesia adalah Negara Pancasila yang berdiri di atas semua kelompok sehingga upaya menetapkan Idulfitri dengan keputusan pemerintah itu menjadi keputusan politik yang seharusnya tidak dilakukan oleh negara. Sehingga kecenderungan-kecenderungan seperti ini menurut saya adalah realitas politik yang dalam jangka panjang akan terus menguras energi kita,” imbuhnya.

Sebagai kritik membangun, Profesor UIN Syarif Hidayatullah ini pun berpendapat bahwa dalam posisi Negara Pancasila, pemerintah selayaknya hanya menetapkan libur hari raya saja. Sedangkan untuk penetapan hari suci atau hari besar agama, diserahkan kepada masing-masing kelompok agama.

“Yang kami pikirkan pemerintah menetapkan libur hari rayanya saja, soal hari rayanya kapan, serahkan pada masing-masing pemeluk agama daripada menetapkan dan tidak diikuti, sehingga ada kesan yang tidak ikut itu seperti melawan pemerintah,” singgungnya.

Terkait perbedaan Idulfitri di internal umat Islam pun kata dia bukanlah hal baru. Di masa Kiai Ahmad Dahlan hidup, telah ada perbedaan Idulfitri berdasarkan hitungan hisab dan hitungan Aboge. Sultan Hamengkubuwono yang mendapati masalah itu pun memiliki kebijaksanaan dengan memfasilitasi perayaan Idulfitri Muhammadiyah.

“Sehingga kalau ada yang mengatakan perdebatannya baru sekarang, itu ahistoris juga. Atau ada yang mengatakan Muhammadiyah pada awalnya menggunakan rukyah, itu juga ahistoris karena perjuangan Muhammadiyah dimulai dari hisab sebagai dasar penetapan banyak hal dalam ibadah termasuk dalam penetapan awal Ramadan, Idulfitri dan Iduladha dan berbagai hal lainnya,” tegas Mu’ti. (wh/red)

iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *