Belajar Dari Film Max Havelaar: Bagaimana Seorang Bupati dari Bangsa Sendiri Memeras Rakyatnya

oleh
Gambar Ilustrasi Pejabat Belanda dengan Bupati dengan latar belakang masyarakat miskin.
iklan

Oleh: Mas Raden (Pemred Portalistana.Id)

Film Max Havelaar of de koffieveilingen der Nederlandsche handelsmaatschappij yang dirilis pada tahun 1976 membawa penonton ke dalam kisah kolonialisme Belanda di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), khususnya di wilayah Lebak, Banten. Diangkat dari buku terkenal karya Multatuli, film ini menggambarkan tidak hanya kekejaman kolonial, tetapi juga bagaimana penguasa pribumi turut serta dalam eksploitasi rakyatnya. Salah satu tokoh yang menjadi sorotan adalah Bupati Lebak, yang meskipun berasal dari bangsa sendiri, ikut berperan dalam penindasan rakyat demi kepentingan pribadi dan kekuasaan.

Film Max Havelaar berkisah tentang Max Havelaar, seorang asisten residen Belanda yang idealis, diperankan oleh Peter Faber. Havelaar ditempatkan di Lebak, Banten, sebuah wilayah yang dikuasai oleh Bupati Elang Ademan Soesilaningrat, seorang bangsawan pribumi yang memeras rakyatnya. Sebagai asisten residen, Havelaar berusaha memperbaiki kondisi rakyat yang menderita akibat kerja paksa dan pungutan liar. Namun, upaya Havelaar untuk mengakhiri penindasan tersebut justru membuatnya berhadapan dengan penguasa kolonial Belanda dan juga penguasa lokal yang merasa terancam dengan keberaniannya.

Dalam film ini, penonton melihat bagaimana kekuasaan dapat membutakan seseorang, bahkan seorang pribumi yang seharusnya melindungi rakyatnya. Bupati Lebak menggunakan posisinya untuk mengeksploitasi rakyat dengan berbagai pajak dan kerja paksa demi kepentingan pribadinya. Ironisnya, meskipun berasal dari bangsa yang sama, Bupati ini justru bersekutu dengan kolonial Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya, tanpa peduli penderitaan yang harus ditanggung rakyatnya.

Apa yang terjadi di Lebak pada masa itu bukanlah fenomena yang langka. Dalam berbagai periode sejarah, kekuasaan sering kali menjadi alat untuk menindas, bukan melayani. Film Max Havelaar menggambarkan dengan jelas bagaimana seorang pemimpin dari bangsa sendiri, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru menjadi penindas. Narasi ini memberikan pelajaran penting tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, bahkan oleh mereka yang memiliki latar belakang sama dengan masyarakat yang mereka pimpin.

Fenomena penguasa lokal yang menindas rakyatnya dengan memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi masih relevan hingga hari ini. Di Indonesia, kita tidak jarang mendengar berita tentang bupati atau pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Mereka menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat untuk memperkaya diri, sementara rakyat yang seharusnya mereka layani justru menjadi korban.

Bupati Lebak dalam film Max Havelaar adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan, terutama ketika kontrol dan pengawasan yang efektif tidak ada. Dalam hal ini, kolonial Belanda seakan menutup mata terhadap tindakan Bupati Lebak karena tindakan tersebut juga menguntungkan mereka secara ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pengawasan dan akuntabilitas tidak ditegakkan, penindasan akan terus berlanjut.

Max Havelaar sendiri dalam film ini bukanlah pahlawan yang menang di akhir cerita. Meskipun berjuang keras melawan sistem yang tidak adil, ia akhirnya harus menerima kekalahan ketika ia dipecat dari jabatannya dan kembali ke Belanda. Namun, kisahnya tetap menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Havelaar berani melawan, meskipun tahu bahwa konsekuensinya bisa sangat berat.

Pesan yang ingin disampaikan oleh film ini adalah pentingnya keberanian untuk melawan ketidakadilan, bahkan ketika pelaku ketidakadilan itu adalah orang yang seharusnya menjadi pelindung. Terkadang, perlawanan tidak langsung menghasilkan kemenangan, tetapi keberanian untuk melawan adalah langkah pertama yang penting untuk mendorong perubahan.

Film Max Havelaar mengajarkan kita banyak hal tentang kekuasaan dan akuntabilitas. Sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa kontrol akan cenderung disalahgunakan, dan rakyatlah yang akan menanggung akibatnya. Dalam konteks modern, sistem demokrasi yang sehat membutuhkan pengawasan yang ketat terhadap para pemimpin, baik di tingkat pusat maupun daerah, agar mereka tidak jatuh dalam godaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Max Havelaar juga mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak selalu mudah, tetapi harus tetap diperjuangkan. Kisah Saijah dan Adinda, dua anak pribumi yang menjadi korban penindasan, juga menjadi simbol dari banyaknya rakyat kecil yang kehilangan harapan dan masa depan karena kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.

Film Max Havelaar tidak hanya bercerita tentang masa lalu, tetapi juga memberikan pelajaran penting untuk masa kini. Ketika kita melihat bupati atau pejabat yang seharusnya melindungi rakyat justru memeras mereka, kita harus mengingat bahwa sejarah telah memberikan banyak contoh tentang bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus menuntut akuntabilitas dari para pemimpin kita dan berani melawan ketidakadilan, seperti yang dilakukan oleh Max Havelaar.

Sejarah adalah guru terbaik. Dari kisah Bupati Lebak dalam Max Havelaar, kita belajar bahwa seorang pemimpin, apalagi yang berasal dari bangsa sendiri, seharusnya menjadi pelindung dan pembela rakyat, bukan penindas.

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *