“Benarkah DNA IPNU adalah DNA Politik?

oleh
iklan

YOGYAKARTA – Sejarah organisasi memiliki tonggak penting bagi berjalannya organisasi. Meninggalkan sejarah artinya mencederai perjuangan tokoh-tokoh yang telah berjuang mendirikan organisasi. Begitupun dengan IPNU yang berdiri pada tanggal 24 Februari 1954, berdirinya IPNU tidak terlepas dari peran serta tokoh-tokoh seperti KH. Tolchah Mansoer, KH. Said Budairy, KH. Mustahal Ahmad, KH. Sofwan Kholil, KH. Abdul Aziz, KH. Abdul Ghoni Farida, dan KH. Abdul Hadi.

Berdirinya IPNU pada tahun 1954 berdekatan dengan situasi politik pada saat itu yaitu penyelenggaraan pemilu pertama pada tahun 1955 yang pada saat itu Nahdlatul Ulama’ menjadi salahsatu peserta pemilu sebagai partai politik1. Namun berdirinya IPNU sendiri bukanlah sebagai tujuan politik utama untuk menguatkan kekuatan politik partai Nahdlatul Ulama’ pada saat itu, tetapi IPNU mempunyai otoritas tersendiri sesuai pernyataan KH. Tolchah Mansoer yang tertulis pada buku biografi “Professor NU yang terlupakan”2 yang berbunyi :

“Mungkin orang menganggap kita ini berpolitik. Tetapi orang tidak tahu bagian apa dari Nahdlatul Ulama’ itu jang berpolitik.

Dalam hal ini perlulah dimengerti hubungan IPNU adalah dengan ma’arif (bagian pengadjaran) dan IPNU tidak akan berbitjara dalam hal politik. Itu urusannya tanfidziyah Nahdlatul Ulama’.

Ya, IPNU adalah anak Nahdlatul Ulama’. Jang harus diketahi; IPNU mempunjai hak atas dirinja sepenuh-penuhnja”.

Politik dalam kajian ilmiah akademik dijelaskan sebagai sebuah ilmu maupun seni untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Adapun kekuasaan itu digunakan untuk fungsi pengaturan yang harapannya bisa menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Perjalanan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan yang genap berusia 97 tahun pada 31 Januari 2023 makin menegaskan, ia lahir tidak saja untuk menguatkan kepentingan keagamaan, tetapi juga kebangsaan. Demikian pula dalam isu pemilu, NU hadir dengan dinamikanya.

Penguatan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan kebangsaan dan kerakyatan kembali ditegaskan di Mukmatar Ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Muktamar ini memutuskan NU kembali ke khittah tahun 1926 saat didirikan sebagai organisasi keagamaan dan secara tegas keluar dari politik praktis. Muktamar 1984 ini juga menjadi tonggak bagi NU menggunakan anggaran dasar yang berasas Pancasila.

Hal ini juga menegaskan standing position (posisi) IPNU itu sendiri bahwa jalan yang ditempuh IPNU sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Nahdlatul Ulama’ yaitu politik kebangsaan bukan politik praktis, karena juga pada saat itu KH. Tolchah Mansoer sebagai salah satu muassis IPNU juga turut andil dalam pergerakan NU untuk kembali ke khittah 1926, walau dalam perjalanannya KH.Tolchah Mansoer tidak masuk dalam Majelis 24 ataupun Tim 7 yang fokus mengembalikan NU kepada khittah 1926, tetapi pada saat Muktamar NU ke-27 di Situbondo memastikan juga KH. Tolchah Mansoer masuk di jajaran PBNU sebagai Rois Syuriah.

Beberapa waktu lalu isu IPNU dan politiknya kembali mencuat setelah ketua umum PP IPNU Rekan M. Agil Nuruzzaman mengatakan bahwa “DNA IPNU adalah DNA PPP” yang disampaikan ketika Silaturrahmi PP IPNU dengan DPP PPP dan pernyataan tersebut diunggah oleh akun instagram @dpp.ppp, dengan argumentasi bahwa kedekatan para tokoh IPNU dengan tokoh PPP dan beberapa alumni IPNU yang meneruskan perjuangan politiknya melalui PPP. Hal ini sangat tidak berdasar dan bisa dikatakan sebagai kecelakaan berfikir yang pernyataan ini dilontarkan oleh seorang ketua umum PP

IPNU, karena pernyataan ini seakan-akan mewakili keseluruhan kader IPNU bahwa orientasi berorganisasi kader IPNU adalah orientasi politik.

 

DNA atau deoxyribonucleic acid dalam kajian ilmiah merupakan polinukleotida untai ganda yang memiliki karakteristik komponen penyusun antara lain gula deoksiribosa, gugus fosfat dan basa nitrogen (adenin, guanin, timin dan sitosin)3. Artinya DNA adalah sebuah gen yang diwariskan dan melekat pada diri kita, dalam hal ini ketua umum PP IPNU menyebut bahwa DNA IPNU adalah PPP bisa ditafsirkan bahwa IPNU diwarisi gennya oleh PPP, padahal secara historis IPNU berdiri pada tahun 1954 dan PPP berdiri pada tahun 1973, yang cukup jauh jaraknya lebih dulu berdiri IPNU.

Pernyataan yang disampaikan oleh Rekan M. Agil Nuruzzaman selaku ketua umum PP IPNU bisa dikatakan juga cacat logika, dan cacat sejarah. Walau dalam perjalanannya KH. Tolchah Mansoer dan Ny. Umroh Mahfudzoh (Pendiri IPPNU) pernah menempuh jalan politik melalui PPP tetapi itu tidak dapat merepresentasikan keseluruhan kader IPNU dan IPPNU bahwa DNA IPNU adalah PPP. Hal ini juga bukan hanya berlaku kepada Partai PPP saja tetapi berlaku juga kepada partai politik manapun bahwa IPNU tidak ada kaitan dengan partai politik manapun walau dalam perjalanannya banyak kader IPNU yang menghiasi partai politik di kancah perpolitikan tanah air.

Hal itu juga merusak citra diri organisasi IPNU yang terdapat pada Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) IPNU, bahwa IPNU bergerak di bidang keterpelajaran, kekaderan kemasyarakatan, kebangsaan, dan keagamaan. Karena pernyataan dari Rekan M. Agil Nuruzzaman ini merepresentasikan bahwa IPNU adalah jalan politik, padahal di akar rumput para kader berjuang tulus, berkhidmat dengan ikhlas kepada organisasi tanpa ada orientasi politik. Pun ketika ada beberapa kader yang mempunyai orientasi ke politik kader tersebut mampu membedakan mana wilayah personal dan wilayah organisasi.

Maka dalam hal ini IPNU di wilayah Jogja bersama-sama menolak pernyataan yang disampaikan oleh Rekan M. Agil Nuruzzaman selaku ketua umum PP IPNU dan menuntut untuk mengklarifikasi pernyataan yang disampaikan atau mencabut pernyataannya karena hal ini akan berpengaruh besar terhadap citra diri organisasi IPNU itu sendiri dan berlawanan dengan PD/PRT PP IPNU.(den/red)

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *