Dugaan Pungli di SDN Ngasemlemahbang: Pembelian LKS Dibebankan ke Wali Murid Meski Ada Dana BOS

oleh
iklan

LAMONGAN – Praktik pungutan liar (pungli) di dunia pendidikan kembali mencuat. Kali ini, SDN Ngasemlemahbang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, menjadi sorotan atas dugaan pungutan tidak wajar terkait pembelian Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibebankan kepada wali murid. Padahal, berdasarkan aturan yang berlaku, dana dari pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah mencakup kebutuhan tersebut.

Informasi ini pertama kali terungkap melalui pengumuman yang disampaikan yang diduga dari grup WhatsApp wali murid sekolah tersebut. Dalam pengumuman yang beredar, tertera rincian pembayaran Buku LKS untuk tahun ajaran 2024/2025, yang mencakup berbagai mata pelajaran dari kelas 1 hingga kelas 6. Di bagian akhir pengumuman, terdapat keterangan ttd (tanda tangan) Kepala Sekolah Sukarti, S.Pd.

Berikut rincian pembayaran LKS yang tercantum dalam pengumuman tersebut:

Kelas 1, 2, dan 3:

Agama: Rp 35.000

Bahasa Arab: Rp 35.000

Bahasa Inggris: Rp 35.000

Bahasa Jawa: Rp 35.000

Penjasorkes: Rp 30.000

PKN: Rp 35.000

Bahasa Indonesia: Rp 30.000

Matematika: Rp 35.000
Total: Rp 270.000

Kelas 4, 5, dan 6:

Agama: Rp 35.000

Bahasa Arab: Rp 35.000

Bahasa Inggris: Rp 35.000

Bahasa Jawa: Rp 35.000

Penjasorkes: Rp 30.000

PKN: Rp 35.000

Bahasa Indonesia: Rp 30.000

Matematika: Rp 35.000

IPA: Rp 35.000
Total: Rp 305.000

Pengumuman ini menuai tanda tanya besar mengingat pemerintah melalui Dana BOS telah mengalokasikan anggaran untuk pembelian buku pelajaran dan LKS. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan tim media ini, harga LKS di pasaran hanya sekitar Rp 6.500 per buku. Namun, wali murid di SDN Ngasemlemahbang diminta membayar hingga ratusan ribu rupiah untuk pembelian LKS tersebut.

Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, Dana BOS sudah seharusnya mencakup kebutuhan operasional sekolah, termasuk pengadaan buku LKS. Dana BOS ini disalurkan setiap tahunnya oleh pemerintah untuk memastikan kebutuhan dasar pendidikan dapat terpenuhi tanpa membebani wali murid dengan biaya tambahan.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan. Pungutan LKS yang dilakukan pihak sekolah tidak hanya bertentangan dengan semangat Dana BOS, tetapi juga menimbulkan kecurigaan akan adanya praktek pungli di dalamnya. Jika harga LKS yang sebenarnya hanya Rp 6.500, namun wali murid diminta membayar hingga ratusan ribu rupiah, maka ada perbedaan harga yang signifikan yang perlu dipertanyakan.

Kasus dugaan pungli di SDN Ngasemlemahbang ini berpotensi melanggar berbagai regulasi yang mengatur larangan pungutan di sekolah. Salah satu regulasi yang relevan adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Dalam peraturan ini disebutkan dengan jelas bahwa komite sekolah dilarang melakukan pungutan terhadap orang tua murid, kecuali dalam bentuk sumbangan sukarela yang tidak bersifat mengikat.

Selain itu, Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pencegahan Pungli di Satuan Pendidikan juga menegaskan bahwa segala bentuk pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat dikategorikan sebagai pungli. Ini termasuk pungutan untuk pembelian buku atau LKS yang seharusnya sudah ditanggung oleh anggaran sekolah melalui Dana BOS.

Dengan dasar regulasi ini, pungutan yang dilakukan di SDN Ngasemlemahbang tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga menjadi beban yang tidak seharusnya dipikul oleh wali murid. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk menggunakan Dana BOS sesuai dengan peruntukannya, termasuk dalam hal pengadaan buku LKS.

Data terkait pungutan LKS ini dihimpun dari sumber yang dapat dipercaya, dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan. Dengan bukti kuat yang sudah dihimpun, dugaan adanya pungli dalam praktik ini semakin kuat. Pengumuman diWAG tersebut dengan jelas mencantumkan rincian biaya yang harus dibayarkan oleh wali murid, lengkap dengan keterangan ttd (tanda tangan) Kepala Sekolah Sukarti, S.Pd.

Meski aturan sudah jelas melarang pungutan tambahan di sekolah, kenyataannya masih banyak praktik pungli yang terus terjadi di dunia pendidikan. Kasus di SDN Ngasemlemahbang ini bukanlah kasus pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir, jika tidak ada penegakan hukum yang lebih ketat terhadap pelanggaran semacam ini.

Kasus ini mengundang sorotan serius dari berbagai kalangan, yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan di sekolah. Penggunaan Dana BOS harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi penyimpangan, terutama dalam hal pengadaan barang atau jasa yang seharusnya sudah ditanggung oleh pemerintah.

Pungli di sekolah, terutama yang berkaitan dengan pembelian buku atau LKS, hanya akan semakin memperburuk kondisi pendidikan di Indonesia. Alih-alih meringankan beban orang tua dan siswa, pungutan liar semacam ini justru memperberat dan merusak integritas pendidikan yang seharusnya berlandaskan kejujuran dan keterbukaan.

Masyarakat berharap kasus ini dapat segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang agar praktik pungli tidak lagi menggerogoti dunia pendidikan. Dengan adanya regulasi yang jelas dan pengawasan yang lebih ketat, diharapkan pungutan liar semacam ini dapat dihapuskan, demi masa depan pendidikan yang lebih baik dan berintegritas.

Untuk mendapat konfirmasi awak media ini juga telah berusaha menghubungi pihak sekolah, namun hingga berita ini dinaikkan belum ada menemukan respon dari pihak sekolah hingga kini.[den/red]

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *