Bojonegoro — Pengangguran di Kabupaten Bojonegoro menjadi salah satu isu krusial yang mencerminkan dinamika sosial-ekonomi daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di wilayah ini pada Agustus 2024 mencapai 34.785 orang, berkurang 1.626 orang dibanding Agustus 2023. Penurunan ini menjadi kabar baik, namun permasalahan mendasar terkait pengangguran masih memerlukan perhatian serius.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Bojonegoro pada Agustus 2024 tercatat sebesar 4,42 persen. Dengan kata lain, dari setiap 100 orang angkatan kerja, terdapat 4 hingga 5 orang yang menganggur. Angka ini menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, termasuk dibandingkan Agustus 2022 dan Agustus 2023. Penurunan TPT ini mencerminkan keberhasilan dalam menyerap tenaga kerja, namun tidak dapat disangkal bahwa masih ada ribuan penduduk usia produktif yang tidak terserap oleh pasar kerja.
Analisis lebih lanjut mengungkap perbedaan TPT berdasarkan jenis kelamin. Pada Agustus 2024, TPT laki-laki mencapai 4,39 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan TPT perempuan yang sebesar 4,45 persen. Menariknya, tren menunjukkan TPT perempuan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sedangkan TPT laki-laki justru menunjukkan kenaikan.
Perbedaan ini membuka ruang diskusi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi dinamika gender dalam pasar tenaga kerja. Apakah penurunan TPT perempuan mencerminkan peningkatan keterampilan atau peluang kerja yang lebih inklusif, atau justru fenomena lain seperti perempuan lebih banyak memilih pekerjaan informal yang tidak tercatat dalam statistik resmi?
Faktor pendidikan menjadi sorotan utama dalam memahami karakteristik pengangguran di Bojonegoro. Data BPS menunjukkan bahwa lulusan SMA umum mendominasi angka pengangguran dengan persentase sebesar 53,05 persen. Disusul lulusan SMA kejuruan sebesar 19,47 persen.
Fakta ini mencerminkan ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan dan kebutuhan pasar kerja. Pendidikan SMA, baik umum maupun kejuruan, tampaknya belum berhasil membekali siswa dengan keterampilan yang relevan untuk bersaing di dunia kerja. Hal ini mengindikasikan perlunya reformasi dalam sistem pendidikan, terutama dalam mengintegrasikan program pelatihan kerja dan pendidikan berbasis keterampilan praktis.
Meskipun TPT menurun, Bojonegoro masih menghadapi tantangan besar dalam memastikan seluruh angkatan kerja dapat terserap di pasar tenaga kerja. Pengembangan pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri lokal, seperti sektor agribisnis, energi, dan pariwisata, menjadi langkah penting. Selain itu, pendidikan kejuruan harus disesuaikan dengan standar industri dan melibatkan kerja sama dengan perusahaan untuk memastikan lulusan memiliki keterampilan yang relevan.
Mendorong investasi dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat menjadi solusi efektif dalam menciptakan lapangan kerja baru. Fokus pada kesetaraan gender juga menjadi penting, terutama dengan tren TPT laki-laki yang meningkat. Penting untuk mempelajari lebih lanjut faktor penyebabnya dan merancang program khusus yang mendukung pemberdayaan laki-laki di pasar kerja formal.
Pengangguran di Bojonegoro bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan tantangan kompleks yang membutuhkan solusi holistik. Penurunan jumlah penganggur adalah langkah positif, tetapi permasalahan mendasar seperti ketidaksesuaian pendidikan dan kebutuhan pasar kerja tetap memerlukan perhatian. Jika Bojonegoro mampu mengoptimalkan potensi tenaga kerja melalui pendidikan yang lebih relevan dan lapangan kerja yang inklusif, daerah ini dapat menciptakan lingkungan sosial-ekonomi yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.[den/red]