Kenaikan Anggaran Pendidikan 2025: Bikin Kuliah Murah atau Sekolah Bebas Pungutan?

oleh
Foto Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
iklan

JAKARTA – Kementerian Keuangan baru saja melaporkan bahwa anggaran pendidikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 akan naik menjadi Rp 722,6 triliun, dari sebelumnya Rp 665 triliun di APBN 2024. Kenaikan sebesar Rp 57,6 triliun ini memunculkan harapan di kalangan masyarakat. Namun, muncul juga pertanyaan kritis: kenaikan ini sebenarnya untuk apa? Apakah dengan anggaran yang lebih besar ini, biaya kuliah akan semakin terjangkau atau sekolah akan bebas pungutan?

Dalam unggahan Indonesian Corruption Watch (ICW) melalui akun Instagramnya, @sahabaticw yang dikutip pada, Rabu (11/9/2024), organisasi ini mempertanyakan arah penggunaan kenaikan anggaran tersebut, serta membeberkan sejumlah keganjilan yang perlu dicermati lebih lanjut. Kenaikan anggaran ini, meskipun terlihat signifikan, menimbulkan berbagai pertanyaan tentang efektivitas dan transparansi dalam pengelolaannya.

Salah satu hal yang menarik perhatian adalah berkurangnya alokasi untuk Program Indonesia Pintar (PIP) dari 20,8 juta siswa penerima di tahun 2024 menjadi 20,4 juta siswa di tahun 2025. Penurunan ini mengundang tanda tanya besar, terutama karena jumlah siswa miskin yang seharusnya menjadi target utama program ini masih tinggi di berbagai daerah. Jika benar jumlah penerima PIP berkurang, apakah ini berarti angka kemiskinan siswa telah menurun secara signifikan? Atau ada faktor lain yang menyebabkan pengurangan tersebut?

Tidak hanya itu, ICW juga menyoroti penurunan alokasi untuk Tunjangan Profesi Guru (TPG) non-PNS. Pada tahun 2024, TPG non-PNS diberikan kepada 577,7 ribu guru, tetapi pada 2025, jumlah penerima turun menjadi 477,7 ribu. Pertanyaan yang sama muncul: apakah jumlah guru non-PNS menurun? Ataukah ada kebijakan lain yang membuat para guru ini tidak lagi menerima tunjangan tersebut?

Dalam narasinya, ICW juga mengungkapkan bahwa meskipun secara keseluruhan anggaran pendidikan tampak naik, ada alokasi dana yang dianggap “mencurigakan”. Salah satu alokasi tersebut adalah anggaran untuk program makan bergizi gratis yang mencapai Rp 71 triliun. ICW mempertanyakan mengapa program ini dimasukkan ke dalam anggaran pendidikan, padahal semestinya hal ini lebih relevan dengan sektor kesehatan atau kesejahteraan sosial.

Jika anggaran untuk makan bergizi gratis ini dikeluarkan dari total anggaran pendidikan, kenyataannya anggaran pendidikan justru mengalami penurunan sebesar Rp 13,4 triliun dari APBN 2024. Ini menimbulkan kesan bahwa kenaikan anggaran pendidikan bukanlah kenaikan yang sebenarnya, melainkan upaya pemerintah untuk “mengelabui” publik dengan angka-angka besar tanpa memberikan dampak yang nyata pada kualitas pendidikan.

Kenaikan anggaran pendidikan yang signifikan seharusnya dimanfaatkan untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan, meningkatkan kualitas tenaga pengajar, serta memperluas akses pendidikan bagi siswa miskin. Namun, dengan penurunan alokasi untuk PIP dan TPG non-PNS, muncul kekhawatiran bahwa kenaikan anggaran ini tidak akan menyentuh aspek-aspek yang paling membutuhkan perhatian.

Belanja pemerintah pusat yang melonjak sebesar Rp 54,4 triliun dari tahun 2024 ke 2025 perlu mendapatkan penjelasan yang lebih transparan. Tanpa penjelasan yang jelas mengenai rincian penggunaan anggaran ini, kekhawatiran mengenai kemungkinan adanya penyalahgunaan atau pengalokasian yang tidak tepat semakin menguat.

ICW menekankan bahwa dalam situasi di mana anggaran pendidikan naik signifikan, seharusnya ada perbaikan yang jelas terlihat di sektor pendidikan, seperti penurunan biaya kuliah, penghapusan pungutan di sekolah, atau peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Sayangnya, hal ini belum terlihat dalam rancangan anggaran yang diajukan.

Kritik terhadap kenaikan anggaran pendidikan ini sejalan dengan tantangan transparansi yang selama ini sering dihadapi dalam pengelolaan keuangan negara. ICW berulang kali mengingatkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, anggaran yang besar sekalipun tidak akan berdampak positif jika tidak dikelola dengan baik. Penurunan alokasi untuk PIP dan TPG non-PNS justru menimbulkan kecurigaan bahwa dana pendidikan tidak dialokasikan dengan prioritas yang tepat.

Dalam konteks ini, ICW juga menyerukan agar publik lebih aktif mengawal dan mengawasi penggunaan anggaran pendidikan. Tanpa partisipasi masyarakat dan lembaga pengawas independen, sangat mungkin anggaran pendidikan yang besar hanya akan menjadi angka di atas kertas tanpa memberikan dampak nyata bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.

Kenaikan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2025 yang mencapai Rp 722,6 triliun memang terdengar menjanjikan. Namun, di balik angka-angka tersebut, terdapat sejumlah kejanggalan yang perlu ditelusuri lebih lanjut. Penurunan alokasi untuk PIP dan TPG non-PNS, serta masuknya anggaran makan bergizi gratis, menimbulkan pertanyaan besar tentang prioritas dan transparansi penggunaan anggaran tersebut. Jika masalah ini tidak segera diatasi, kenaikan anggaran pendidikan bisa jadi tidak akan berdampak signifikan pada perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Sebaliknya, potensi penyalahgunaan anggaran justru bisa menjadi ancaman baru yang menghambat kemajuan sektor ini.[den/red]

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *