Kenapa Tetap Ghibah Saat Berpuasa?

oleh
iklan

Oleh : Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DIKTIS)

Saya pernah mendengar ungkapan bijak bestari, kenapa Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut manusia? Menurutnya, ini merupakan bagian dari rahasia penciptaaan di mana Tuhan ingin mengajarkan manusia agar menjadi pendengar yang baik daripada menjadi orang yang banyak bicara.

Ungkapan tersebut 100% benar adanya. Faktanya memang banyak orang yang ingin terus berbicara. Bahkan ada orang seharian terus berbicara kecuali dalam keadaan tidur. Berbicara memang mudah, murah, dan ringan seperti kita bernafas. Siapa pun bisa melakukannya kecuali penyintas tuna wicara. Sehingga, setiap individu “merasa” punya hak berbicara tentang apapun karena dianugerahi lisan (mulut) oleh Allah.

Tetapi tahukah kita, dengan lisan (mulut) yang hanya satu itu justru menjadi penentu nasib kehidupan kita. Tidak sedikit orang tertimpa petaka gegara salah bicara. Berapa orang yang pada akhirnya masuk bui karena tidak mampu mengontrol lisannya dengan baik. Pada saat yang sama, orang yang banyak diam justru bisa selamat dari petaka.

Kata-kata bijakĀ “salaamatul insaan fii hifdzil lisaan”, keselamatan diri manusia tergantung dari kemampuan mengendalikan lisannya, perlu kita renungkan betul. Hindarkan sejauh mungkin lisan berbicara untuk kesombongan, kebohongan, cacian, kata-kata kotor, munkar, fitnah, dan khianat. Apalagi kita sedang berpuasa yang seharusnya berfungsi sebagai perisai diri.

Ada satu fenomena menarik di mana orang yang sedang berpuasa, tanpa sadar, justru rajin “meng-ghibah” orang lain sambil menunggu waktu. Jelang berbuka atau paska ifthar bersama sambil “rokok’an” “meng-ghibah” temen sendiri atau orang lain jamak dilakukan. Saat dua orang atau lebih bertemu memang asyik “ngomongin” kejelekan orang lain. Apalagi sambil tertawa-tawa.

Apakah disadari bahwa “meng-ghibah” saudaranya sendiri itu dosa? Jawabnya, sadar sepenuhnya, tetapi sulit menghindarinya. Kenapa begitu? Lagi-lagi, mengandalikan lisan memang tidak mudah.

Sebagai makhluk sosial (zoon politicon), manusia menjadikan lisan sebagai media komunikasi antar sesama. Plus rasa ingin tahu “aib” sesama juga tinggi, sehingga sangat nikmat jika itu menjadi tema pembicaraan bersama kolega. Kebanyakan orang (meski dalam keadaan puasa) tidak menyadari bahwa itu menjadikan kita bisa terseret jauh dalam lumpur dosa.

Dalam QS: Al-Hujurat ayat 12 disebutkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”

Lalu bagaimana agar puasa kita lebih bermakna? Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin memberikan wejangan agar lisan kita tetap terjaga dengan baik sebagai berikut:

Pertama, sadarilah bahwa perkataan lisan kita akan mempengaruhi terhadap nasib kita secara umum. Malik bin Dinar berkata: “Apabila kamu merasakan hatimu keras dan tubuhmu lemah, serta rezekimu terhalang, ketahuilah bahwa itu karena kamu telah mengungkapkan perkataan yang tidak memberi manfaat sama sekali padamu.”

Kedua, kita dianjurkan untuk menjaga waktu dengan terus berzikir kepada Allah. Obrolan antar sesama selain berzikir cenderung mengarah pada kesia-siaan. Rekomendasi Al-Ghazali tersebut sangat relevan dilakukan saat kita berpuasa di bulan suci Ramadan. Lisan hendaknya lebih banyak untuk membaca Al-Quran, berzikir, atau lebih baik tidur.

Ketiga, menyibukkan diri untuk menjaga amal-amal kebaikan, seperti mengembangkan diri dengan banyak membaca buku atau kitab, tadarrus Al-Quran, dan lain-lain. Kesibukan dalam kabajikan akan mengurangi bahkan menghindarkan diri dari aktifitas “ghibah”. Lisan yang terlalu banyak “berbicara” bisa menjebaknya untuk menggunjing kejelekan orang lain, atau bisa mengeluarkan kata-kata yang membuat orang lain tersinggung.

Keempat, menjaga lisan dapat menyelamatkan diri kita dari malapetaka di dunia atas perkataan yang telah kita ucapkan. Sufyan al-Tsauri, ulama tersohor asal Irak berkata: “Janganlah mengeluarkan perkataan yang dapat mematahkan gigi-gigimu.” Artinya, jangan pernah berkata tentang sesuatu yang menyebabkan kalian bisa tertimba musibah.

Kelima, sadarilah bahwa setiap apa yang kita ucapkan pasti berdampak di akhirat kelak. Hendaknya selalu mengingat kesengsaraan dan hukuman di akhirat akibat lisan yang tidak terjaga. Ada kalanya lisan mengucapkan perkataan yang diharamkan dan ada kalanya mengucapkan perkataan mubah yang tidak ada manfaatnya (omong kosong).

Jadi, di momen bulan puasa ini, saatnya kita menjadikan sebagai laboratorium jiwa agar lisan (dan juga jari saat ber-medsos) dapat terkendali dengan baik. Jangan jadikan lisan ini sebagai pemicu kelak di hari pembalasan kita bangkrut amal (muflis) karena sering membicarakan aib sesama. Wallahu a’lam.

iklan

Pewarta : Redaksi Istana

Gambar Gravatar
Deskripsi tentang penulis berita di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *