Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

oleh
iklan

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Surakarta adalah Istana resmi Kesunanan Surakarta Hadiningrat yang terletak di Kota Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun 1743. Keraton ini mempunyai pecahan yakni Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang merupakan istana dari Kesultanan Yogyakarta, sehingga secara tradisional Dinasti Mataram diteruskan oleh dua kerajaan, yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Total luas wilayah keseluruhan keraton surakarta mencapai 147 hektar, yakni meliputi seluruh area di dalam benteng Baluwarti, Alun-Alun Lor, Alun-Alun Kidul, Gapura Gladag, dan kompleks Masjid Agung Surakarta. Sementara luas dari kedhaton (inti keraton) mencapai 15 hektar.

Walaupun Kesunanan Surakarta secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal susuhunan/sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesunanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesunanan, termasuk berbagai pemberian atau hadiah dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.

Kesultanan Mataram yang kacau akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 ibu kotanya oleh Sri Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742, dan Mataram yang berpusat di Kartasura saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat (Bangkalan) yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Sri Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.

Bangunan Ke raton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap “tercemar”. Sri Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tidak jauh dari Bengawan Solo. Untuk pembangunan keraton ini, Sri Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.

Setelah istana kerajaan selesai dibangun dan ditempati, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam Bahasa Jawa berarti “keberanian” dan karta berarti “makmur”; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa. Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan kebalikan kata dari Kartasura. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kesunanan Surakarta.

Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah KGPH. Mangkubumi (kelak bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana X yang bertakhta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-Alun Lor/Utara, Kompleks Pagelaran Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan dan Sri Manganti Kidul/Selatan, Kompleks Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-Alun Kidul/Selatan. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan.

Kompleks Alun-Alun Lor/Utara
Kompleks ini meliputi Gapura Gladag, Pangurakan, Alun-Alun Lor, dan Masjid Agung Surakarta. Gladag yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta. Pada zaman dahulu, space area di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula-Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja). Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru.

Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Masjid Agung Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III pada tahun 1750 (Kesunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cenderamata. Di sebelah barat daya Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat dua gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Klewer dan Gapura Batangan.

Kompleks Sasana Sumewa dan Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara
Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya diberi nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Siti Hinggil.

Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester. Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat = rumah; sumewa = menghadap), fungsi Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun), ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik takhta, dan sebagainya.

Siti Hinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada salah satu anak tangga Siti Hinggil sisi utara terdapat sebuah batu yang dahulu digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima hukuman mati, disebut dengan Sela Pamecat.

Bangunan utama di kompleks Siti Hinggil ini adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat pula Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana takhta Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Kemudian di sebelah selatan terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Sentomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Di sebelah timur Sasana Sewayana dan Witana, terdapat dua bangunan bangsal, yaitu Bangsal Gandekan Tengen di bagian utara dan Bangsal Angun-Angun di bagian selatan. Sementara di sebelah baratnya terdapat bangunan Bangsal Gandekan Kiwa di bagian utara dan Bale Bang di bagian selatan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Siti Hinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat, yang disebut dengan nama Supit Urang (capit udang).

Kompleks Kamandungan Lor/Utara
Kori Brajanala atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III dengan gaya Limasan Semar Tinandu. Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.

Pada sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala di sebelah dalamnya terdapat dua Bangsal Wisamarta sebagai tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti.

Di atas Kori Kamandungan Lor/Utara terdapat gambar bendera merah putih (gendera gula klapa) dan bermacam senjata perang, di mana di tengah terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat gambar mahkota; gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja, yang merupakan simbol dari Keraton Mataram sebagai pendahulunya. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat Balerata, yaitu los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan yang akan digunakan oleh Sri Sunan. Tempat ini juga berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton.

Kompleks Sri Manganti Lor/Utara
Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan Lor. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Gendera Gula Klapa.
Nama Kori Sri Manganti berasal dari kata sri yang berarti raja dan manganti yang berarti menunggu, jadi kawasan ini berfungsi sebagai tempat para tamu menunggu giliran untuk bisa bertemu atau menghadap raja. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Marakata di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.

Pada zamannya Bangsal Marakata digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Kata marakata atau asmarakata sendiri memiliki arti sebagai dhawuh kang nengsemake, atau perkataan yang menyenangkan.

Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirengga, sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai Kantor Wedana.

Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk mengawasi tentara Belanda yang ada di Benteng Vastenburg. Selain itu, bangunan ini memiliki fungsi spiritual yaitu sebagai tempat raja bermeditasi serta untuk lokasi bertemunya raja dengan Kangjeng Ratu Kencana Hadisari alias Ratu Laut Selatan. Bangunan ini sempat terbakar pada 19 November 1954, lalu dibangun kembali dan selesai pada 30 September 1959.

Kompleks Kedhaton
Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV pada tahun 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Panggung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Limasan Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias di atas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka, antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama, di antaranya adalah Pendhapa Ageng Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.

Pendhapa Ageng Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana XII tepatnya pada tahun 1985 tempat ini mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan, seperti saat garebeg, ulang tahun raja dan peringatan hari kenaikan takhta raja. Di sebelah barat pendhapa ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga takhta Sri Sunan yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertakhta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak di Siti Hinggil Lor.

Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner. Pada sisi tenggara Sasana Handrawina terdapat bangunan Sasana Pustaka yang menjadi tempat penyimpanan arsip dan naskah keraton. Di depan Sasana Handrawina (dari arah selatan) terdapat tiga bangunan kecil yaitu Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga Kidul/Bangsal Musik (untuk musik atau orkes) dan Bangsal Pradangga Lor (tempat memainkan gamelan). Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana atau Reksa Tengara.

Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Sri Sunan sekaligus untuk mengawasi Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Panggung Sangga Buwana didirikan tahun 1777 saat pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III . Pembangun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat penunjuk arah angin berbentuk seseorang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai sengkala Naga Muluk Tinitihan Janma. Arti sengkala tersebut adalah tahun 1708 Jawa, tahun pembangunan menara.

Bagian timur kompleks Kedhaton merupakan sebuah bangunan yang memanjang utara-selatan dengan halaman luas di tengah-tengahnya. Di masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana XII pada tahun 1963, bangunan tersebut difungsikan sebagai Museum Keraton Surakarta. Di sisi selatan halaman museum terdapat sebuah sumur bernama Sumur Sanga. Sebelum dijadikan museum, kawasan ini pernah berfungsi sebagai tempat tinggal putra mahkota dan kantor-kantor administrasi kerajaan. Di sebelah selatan-tenggara museum terdapat kompleks Gandarasan yang merupakan dapur istana.

Di sebelah barat kawasan Kedhaton terdapat beberapa kompleks bangunan antara lain Sasana Putra, Sasana Narendra (kediaman resmi Sri Susuhunan Pakubuwana XIII), Gedhong Langen Katong, Keputren, Keraton Kilen (istana barat) atau secara lengkap bernama Keraton Kilen ing Prabasana yang dibangun pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana X, serta berbagai bangunan lainnya. Area di bagian barat kawasan Kedhaton tersebut merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang terpublikasi sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Di belakang tempat tinggal keluarga Sri Sunan, terdapat Taman Sari Bandengan. Pada kawasan tersebut, terdapat kolam buatan dan di tengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat meditasi. Di pinggiran kolam, terdapat sebuah tempat yang berisi batu meteor keramat serta tangga dari batu untuk menuju ke bangunan tempat meditasi. Di dekat taman air dan bangunan tempat keluarga Sri Sunan, terdapat bukit yang dipenuhi rerumputan yang diatasnya berdiri bangunan paviliun kecil dengan terasnya. Tempat ini disebut Argapura dan dipakai sebagai tempat istirahat Sri Sunan.

Kompleks Kamagangan, Sri Manganti Kidul/Selatan, Kamandungan Kidul/Selatan, serta Siti Hinggil Kidul/Selatan
Dari Kompleks Kedhaton ke arah selatan, terdapat Kori Sri Manganti Kidul yang merupakan akses utama untuk menuju Kompleks Magangan atau Kamagangan. Di tempat ini terdapat sebuah pendhapa di tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang digunakan sebagai tempat pelatihan para para calon pegawai kerajaan. Di sekeliling halaman ini ada kantor-kantor dan bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit, seperti keris, pedang, bedil, pistol, dan pakaian seragam prajurit untuk hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar Kori Kamandungan Kidul adalah pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.

Kompleks terakhir, Siti Hinggil Kidul/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan Kyai Slamet. Kori Brajanala Kidul/Selatan memberikan akses ke kompleks Siti Hinggil Kidul. Siti Hinggil Kidul sendiri adalah suatu kompleks bangunan pendhapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dahulu di sekitarnya terdapat empat meriam, dua di antaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan kompleks Siti Hinggil Lor yang megah, kompleks Siti Hinggil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.

Di sebelah selatan Siti Hinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul/Selatan, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-Alun Lor/Utara. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan di sekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di area tersebut. Pada bagian ini, terdapat dua buah bangunan yang salah satunya sebagai tempat disemayamkannya sebuah gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Sri Susuhunan Pakubuwana X menuju ke pemakaman Astana Imogiri.

Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama Gapura Gading. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladag. Pada tahun 1932, Sri Susuhunan Pakubuwana X, menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun Kidul dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di Alun-Alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendra.(den/red)

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *