Ketidaksesuaian Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2023: Properti Investasi Tak Tercatat, Potensi Kehilangan Aset Meningkat

oleh
Foto ilustrasi aset daerah dengan foto bersama Ketua TAPD Bojonegoro bersama Ketua dan wakil ketua DPRD BOjonegoro saat rapat Mengesahkan Propemperda 2024.
iklan

BOJONEGORO – Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Jawa Timur terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tahun 2023, terungkap sejumlah temuan krusial yang berpotensi merugikan pemerintah daerah. Salah satu yang paling mencolok adalah ketidaksesuaian dalam pencatatan dan penyajian properti investasi, yang dapat berdampak serius pada pengelolaan aset daerah dan pengambilan keputusan di masa mendatang.

Properti investasi merupakan salah satu kategori aset yang harus dicatat dan disajikan secara terpisah dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 17 tentang Properti Investasi, pemerintah daerah diwajibkan untuk menerapkan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan properti investasi dalam laporan keuangannya. Properti investasi ini mencakup tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan sewa atau untuk meningkatkan nilai aset tersebut, bukan untuk kegiatan pemerintahan atau pelayanan kepada masyarakat.

Kewajiban ini bertujuan agar pemerintah daerah dapat mengelola aset secara transparan dan akuntabel, serta memaksimalkan potensi pendapatan dari properti investasi yang dimilikinya. Informasi yang disajikan dengan benar dan lengkap dalam laporan keuangan akan memudahkan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan strategis terkait pengelolaan aset, sekaligus memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

Dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tahun 2023 yang telah diaudit, BPK menemukan bahwa properti investasi berupa tanah dan bangunan yang tidak digunakan untuk kegiatan pemerintahan namun menghasilkan pendapatan sewa, tidak disajikan secara terpisah dari aset tetap dan aset lainnya dalam kelompok aset non lancar. Padahal, menurut Kebijakan Akuntansi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro Nomor 25 Tahun 2023, properti investasi harus diklasifikasikan sebagai aset non lancar dan disajikan terpisah dari kelompok aset lainnya. Kebijakan ini seharusnya menjadi acuan utama dalam penyajian properti investasi di laporan keuangan.

Hasil inventarisasi BPK menunjukkan bahwa terdapat properti investasi berupa tanah senilai Rp181.353.990.719,01 dan gedung serta bangunan senilai Rp235.072.241.040,75 yang belum diklasifikasikan dalam aset non lancar dan disajikan terpisah. Temuan ini menunjukkan adanya kelalaian dalam penerapan standar akuntansi yang berlaku, yang bisa berimplikasi serius terhadap validitas dan keandalan laporan keuangan daerah.

Menurut penjelasan Kepala Bidang Akuntansi dan Investasi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Bojonegoro, ketidaksesuaian ini disebabkan oleh keterbatasan Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) yang digunakan pada tahun 2023. Sistem tersebut belum mampu menyajikan properti investasi secara terpisah dari aset tetap, yang akhirnya berimbas pada tidak dimasukkannya informasi properti investasi tersebut dalam catatan atas laporan keuangan.

Namun, alasan ini bukanlah pembenaran yang memadai. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, telah diatur secara jelas bahwa aset yang tidak digunakan untuk kegiatan pemerintahan dan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat umum harus disajikan sebagai properti investasi dan tidak digabungkan dengan aset tetap. Kegagalan untuk mematuhi aturan ini menunjukkan kurangnya pengawasan dan kontrol dari pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan aset daerah.

Potensi Kehilangan Aset dan Risiko Hukum

Ketidaksesuaian dalam pencatatan properti investasi ini tidak hanya berdampak pada ketidakakuratan laporan keuangan, tetapi juga dapat menyebabkan pemerintah daerah kehilangan aset berharga. Dari laporan BPK, diketahui bahwa tanah senilai Rp1.557.752.274,21 berpotensi hilang karena tidak diketahui keberadaannya. Hal ini memperlihatkan lemahnya pengelolaan dan pengamanan aset milik daerah.

Selain itu, tanah yang memiliki perbedaan antara Kartu Inventaris Barang (KIB) A dan sertifikatnya berpotensi menghadapi permasalahan hukum di kemudian hari. Tanah-tanah ini bisa saja menjadi objek sengketa atau bahkan diambil alih oleh pihak yang tidak berhak jika pemerintah daerah tidak segera melakukan penertiban dan pengamanan hukum.

Kondisi ini semakin diperparah dengan temuan bahwa data properti investasi belum dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk memaksimalkan potensi pendapatan. Padahal, jika dikelola dengan baik, properti investasi ini dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi kas daerah, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam situasi ini, tanggung jawab besar berada pada Sekretaris Daerah Kabupaten Bojonegoro selaku Pengelola Barang, serta Kepala BPKAD sebagai Pembantu Pengelola Barang. Keduanya dianggap belum optimal dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD). Khususnya, Kepala BPKAD dinilai belum melakukan koordinasi dan pemantauan yang memadai atas hasil penatausahaan aset tetap yang dilakukan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pengguna barang. Selain itu, monitoring atas aset yang dikategorikan sebagai properti investasi juga belum dilaksanakan dengan baik.

Kepala Dinas terkait yang bertindak sebagai Pengguna Barang juga harus bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan dan pengendalian atas pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya. Kondisi ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas dan tanggung jawab dalam pengelolaan aset daerah agar sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Temuan BPK ini menjadi pengingat penting bagi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan pemerintah daerah lainnya akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset daerah. Ketidakpatuhan terhadap standar akuntansi yang berlaku tidak hanya mengancam integritas laporan keuangan, tetapi juga bisa berdampak pada hilangnya aset berharga yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah daerah harus segera mengambil langkah-langkah perbaikan yang tegas dan sistematis untuk memastikan bahwa seluruh properti investasi dan aset lainnya dicatat dan dikelola dengan baik. Ini termasuk memperbaiki sistem informasi, meningkatkan kapasitas pengelola aset, dan menerapkan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dan pemanfaatan aset daerah.

Dengan demikian, potensi pendapatan daerah dapat dimaksimalkan, dan aset-aset penting yang dimiliki pemerintah daerah dapat dilindungi dan dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Bojonegoro. Transparansi dan akuntabilitas bukan hanya sekadar formalitas, tetapi merupakan fondasi utama dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.[den/red]

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *