Masalah Kesejahteraan Guru dan Fasilitas Pendidikan Madrasah di Bojonegoro: Ketidakadilan dan Tuntutan Solusi

oleh
iklan

Bojonegoro – Di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, berbagai permasalahan di sektor pendidikan swasta, terutama madrasah, masih menjadi sorotan tajam di Bojonegoro. Kesejahteraan guru non-PNS, fasilitas pendidikan yang terbatas, serta ketimpangan dalam program pemerintah untuk sekolah dan madrasah terus menjadi keluhan dari para pendidik yang berjuang di lapangan. Dalam hal ini, berbagai tokoh dari Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) di Bojonegoro angkat suara, menyuarakan keresahan mereka dan menuntut perbaikan kebijakan pemerintah.

Salah satu isu utama yang disorot adalah rendahnya kesejahteraan guru non-PNS, khususnya di madrasah-madrasah swasta. Meski pemerintah telah meluncurkan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai solusi, kenyataannya, banyak guru madrasah yang belum bisa merasakan manfaat dari program ini.

Syafi’i, perwakilan dari Pergunu PAC Kanor, menyoroti pentingnya kesetaraan kesempatan bagi para guru swasta, termasuk di madrasah, untuk ikut dalam program PPPK.

“Kesejahteraan guru non-PNS di madrasah masih jauh dari harapan. Sebenarnya, ada peluang yang sama terkait PPPK untuk guru swasta, baik di sekolah maupun madrasah, tetapi sayangnya banyak yang belum terakomodasi,” tegasnya.

Syafi’i juga menyoroti proses panjang dan berbelit yang dialami para guru madrasah dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG).

“Banyak guru yang telah lulus pretes PPG tetapi belum terpanggil hingga sekarang. Usia mereka sudah tua dan masa kerja mereka juga lama. Ini sangat memprihatinkan dan harus segera mendapat perhatian,” tambahnya.

Selain kesejahteraan, masalah fasilitas pendidikan di madrasah juga menjadi perhatian utama. Kurangnya laboratorium komputer menjadi kendala serius dalam pelaksanaan berbagai ujian berbasis komputer, seperti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Selama ini, fasilitas tersebut sering kali harus dipinjam dari guru atau lembaga lain yang memiliki keterbatasan.

“Fasilitas lab komputer di madrasah sangat dibutuhkan, terutama untuk pelaksanaan ujian seperti ANBK. Namun, sayangnya belum terpenuhi hingga sekarang. Selama ini, kami hanya bisa meminjam dari guru atau lembaga lain, padahal seharusnya madrasah memiliki fasilitas tersebut sendiri,” ungkap Syafi’i.

Kondisi ini jelas menghambat proses pendidikan dan harus segera dicarikan solusinya oleh pihak pemerintah.

Munip Alwi, perwakilan Pergunu PAC Baureno, menyoroti adanya potensi diskriminasi dalam penyaluran dana pemerintah, baik untuk sekolah maupun madrasah. Menurutnya, guru-guru di madrasah sering kali merasakan ketidakadilan dalam hal penerimaan insentif daerah dan dana operasional pendidikan.

“Penyaluran KPOB (Kartu Potensi Olahraga Berjenjang) jangan ada diskriminasi antara sekolah dan madrasah, karena sama-sama sebagai anak bangsa di Bojonegoro. Di samping itu, tunjangan insentif daerah untuk guru madrasah juga penting dan jangan hanya menjadi wacana seperti tahun lalu,” kata Munip Alwi.

Lebih lanjut, Munip menekankan pentingnya realisasi dana BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) untuk madrasah.

“BOSDA untuk madrasah jangan sampai hanya sekadar wacana atau PHP (pemberi harapan palsu) seperti tahun lalu. Lapisan bawah sangat mengharapkan dan menunggu realisasinya,” ujarnya dengan penuh harap.

Munip menegaskan, kesenjangan ini harus segera diatasi agar madrasah bisa mendapatkan perhatian yang sama dengan sekolah-sekolah lain di Bojonegoro.

Moh Arifin, perwakilan Pergunu PAC Bubulan, juga menyuarakan keresahan terkait tidak adanya akses yang adil bagi guru madrasah swasta dalam program PPPK.

“Kenapa guru KB/TK, SD, SMP, dan SMA swasta bisa masuk database BKN dan bisa mendaftar PPPK, tapi guru RA (Raudhatul Athfal) dan madrasah swasta tidak masuk database BKN sehingga tidak bisa ikut PPPK?” tanyanya.

Selain itu, proses pencairan dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) untuk madrasah swasta dianggap terlalu berbelit-belit dibandingkan dengan sekolah-sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“BOS untuk SD, SMP, dan SMA mudah proses pencairannya dan cepat, sedangkan BOP untuk RA dan BOS madrasah swasta prosesnya sangat berbelit-belit dan lambat cairnya,” jelas Arifin.

Arifin juga menyoroti ketimpangan kuota Program Indonesia Pintar (PIP) antara sekolah umum dan madrasah.

“Kuota PIP untuk SD, SMP, dan SMA selalu lebih banyak dibandingkan dengan kuota untuk madrasah. Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang harus segera diperbaiki,” tegasnya.

Dari berbagai permasalahan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh Pergunu di Bojonegoro, jelas terlihat bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi oleh madrasah swasta dalam hal kesejahteraan guru, fasilitas pendidikan, serta akses terhadap program-program pemerintah. Para guru dan pengelola madrasah berharap agar pemerintah dapat memberikan perhatian yang lebih serius terhadap sektor pendidikan ini.

Dengan adanya berbagai kebijakan yang lebih inklusif dan adil, diharapkan madrasah-madrasah swasta di Bojonegoro dapat menikmati kesejahteraan yang setara dengan sekolah-sekolah umum, baik dalam hal fasilitas, insentif, maupun akses terhadap program-program peningkatan kualitas guru. Semua ini demi terciptanya pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh anak bangsa, tanpa memandang jenis lembaga pendidikan tempat mereka belajar.[den/red]

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *