Meneng

oleh
iklan

Oleh: Mas Raden (Pemred Portal istana. Id) 

Di tengah hiruk-pikuk zaman yang bergetar dalam sorak-sorai dan gemuruh perdebatan, terbersit satu kunci penting yang seringkali terabaikan: meneng. Meneng bukan sekadar berdiam diri dalam kebisuan, melainkan sebuah perjalanan batin yang penuh makna, sebuah bentuk perenungan yang mendalam, serta sebuah sikap adab yang luhur dalam tradisi Jawa. Dalam keheningan ini, tersemat filosofi dan tata krama yang mengajarkan kebijaksanaan.

Sebagai orang Jawa, kita diajarkan sejak dini bahwa meneng adalah sebuah bentuk pengendalian diri yang halus namun kuat. Dalam tradisi kita, meneng bukan berarti hanya menahan diri dari berbicara, melainkan sebuah sikap menghargai waktu dan ruang. Sebuah adab yang menuntut kita untuk mendengarkan lebih banyak daripada berbicara, untuk memahami lebih dalam daripada sekadar mengungkapkan pendapat. Ini adalah wujud dari kesadaran bahwa dalam setiap kebisingan terdapat makna yang belum terungkap, dan dalam setiap keheningan ada ruang untuk refleksi yang mendalam.

Keberadaan meneng dalam budaya Jawa tidak lepas dari konsep “tata krama” atau etika. Dalam pergaulan sehari-hari, sikap meneng menunjukkan rasa hormat kepada sesama, terutama ketika perbincangan menjadi keras atau ketika pendapat berbeda menyertai diskusi. Sebuah ungkapan yang sering terdengar di kalangan kita adalah “eluh-eluh” atau menunggu, yang berarti memberi kesempatan untuk mendengarkan dan memahami terlebih dahulu sebelum memberikan tanggapan. Ini adalah ajaran yang mengajarkan kita bahwa setiap suara dan pendapat memiliki nilai, dan meneng adalah bentuk penghargaan terhadap proses ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, meneng juga memiliki makna yang lebih dalam. Saat kita berhadapan dengan situasi yang penuh emosi, seperti konflik atau ketegangan, meneng adalah bentuk pengendalian diri yang mencegah tindakan impulsif. Dalam keheningan ini, kita dapat menemukan klaritas dan kedamaian. Meneng mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan, melainkan memberi ruang bagi pikiran dan hati untuk menyatu, sehingga keputusan yang diambil lebih bijaksana dan seimbang.

Sementara dalam kehidupan spiritual, meneng memiliki dimensi yang lebih transendental. Dalam meditasi atau doa, meneng merupakan perjalanan menuju keheningan batin, di mana jiwa dapat berhubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Dalam tradisi Jawa, terdapat konsep “Rasa” yang melibatkan pengalaman batin yang mendalam, dan meneng adalah kunci untuk merasakannya. Melalui keheningan, kita dapat mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi, menyelami kedalaman diri dan menemukan pencerahan.

Namun, meneng bukanlah tentang melarikan diri dari masalah atau menghindari tanggung jawab. Sebaliknya, meneng adalah bentuk kebijaksanaan yang memungkinkan kita untuk menghadapi masalah dengan cara yang lebih tenang dan terfokus. Dalam pandangan Jawa, menghadapi kesulitan dengan ketenangan adalah salah satu bentuk keberanian yang tertinggi. Dengan meneng, kita tidak hanya menyelami kebisuan tetapi juga menggali potensi terbesar kita untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara yang lebih terhormat dan bijaksana.

Meneng juga dapat dilihat sebagai bentuk penghargaan terhadap kebudayaan dan tradisi. Dalam masyarakat Jawa, ada saat-saat di mana diam adalah bentuk sopan santun dan rasa hormat, seperti dalam upacara adat atau ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Ini adalah bentuk kesadaran akan tata krama dan adab yang mengajarkan kita untuk menghargai setiap momen dan interaksi dengan cara yang paling sopan dan penuh rasa hormat.

Dalam konteks modern, di mana segala sesuatu sering kali bergerak dengan cepat dan kadang-kadang tanpa refleksi yang cukup, meneng menjadi semakin relevan. Dalam dunia yang bising dan serba cepat ini, di mana informasi datang dengan deras dan seringkali menuntut respons yang segera, meneng mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan memberi ruang bagi diri sendiri untuk berpikir dengan jernih. Ini adalah pengingat bahwa dalam keheningan terdapat kekuatan untuk menemukan solusi yang lebih baik dan lebih bijaksana.

Akhirnya, meneng bukan hanya sebuah tindakan, tetapi sebuah sikap hidup yang penuh makna. Dalam tradisi Jawa, meneng merupakan manifestasi dari kebijaksanaan dan adab yang luhur, sebuah pengingat bahwa di tengah keramaian dan kegaduhan, kita masih memiliki ruang untuk merenung dan belajar. Dalam keheningan, kita menemukan diri kita yang sejati dan belajar untuk menghargai setiap detik dari kehidupan ini dengan penuh rasa syukur dan hormat. Meneng, dalam artian yang mendalam, adalah kunci untuk hidup dengan lebih bijaksana dan lebih terhubung dengan diri sendiri dan orang lain.

iklan

Pewarta : Redaksi Istana

Gambar Gravatar
Deskripsi tentang penulis berita di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *