Oleh: Mas Raden (Pemred Portalistana.Id)
Menjelang Pilkada 2024, panggung politik Indonesia kembali dipenuhi dengan janji-janji manis yang diutarakan oleh para calon kepala daerah. Mulai dari pembangunan infrastruktur, kesejahteraan ekonomi, hingga janji-janji perubahan sosial yang terdengar menggiurkan, semuanya dilontarkan dengan semangat meraih simpati masyarakat. Namun, di balik janji-janji tersebut, masyarakat perlu lebih cermat dalam menilai: Mana yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan, dan mana yang sekadar retorika untuk meraih suara?
Dalam suasana kampanye, janji politik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Para calon berlomba-lomba menawarkan visi dan misi yang besar, bahkan kadang terkesan ambisius. Sayangnya, tidak semua janji tersebut bersifat realistis. Dalam konteks politik lokal, salah satu cara menilai janji politik adalah dengan melihat apakah janji tersebut terukur dan sesuai dengan kapasitas anggaran daerah. Janji-janji yang terlampau besar, seperti pembangunan megaproyek tanpa rencana pendanaan yang jelas, patut dicurigai sebagai janji kosong.
Sebagai contoh, di beberapa daerah yang minim infrastruktur, janji pembangunan jalan tol atau jembatan raksasa sering terdengar di setiap Pilkada. Padahal, proyek besar seperti itu memerlukan anggaran yang tidak sedikit dan kerjasama pemerintah pusat. Masyarakat perlu mempertanyakan sumber pendanaan dari janji tersebut dan sejauh mana realisasi janji ini mungkin terwujud dalam periode kepemimpinan lima tahun.
Salah satu indikator yang bisa membantu menilai kejujuran sebuah janji politik adalah rekam jejak kandidat. Masyarakat perlu menggali bagaimana kinerja para kandidat di masa lalu, baik ketika mereka menjabat di pemerintahan maupun ketika mereka bergerak di organisasi tertentu. Apakah mereka konsisten dalam memenuhi janji-janji sebelumnya? Apakah ada bukti nyata dari kebijakan atau tindakan yang mereka ambil?
Calon yang memiliki rekam jejak baik biasanya lebih dapat dipercaya dibandingkan mereka yang baru muncul ke publik menjelang Pilkada. Sebagai contoh, seorang calon yang pernah menjadi bupati dan memiliki program-program sukses di daerahnya bisa menjadi contoh yang baik. Sebaliknya, calon yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang patut diwaspadai, meski janji politik mereka terdengar sangat meyakinkan.
Masyarakat juga harus kritis terhadap janji politik yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal. Setiap daerah memiliki masalah dan kebutuhan yang berbeda-beda. Misalnya, daerah pertanian memiliki tantangan yang berbeda dengan daerah perkotaan, begitu pula dengan daerah pesisir. Kandidat yang benar-benar memahami masalah lokal akan lebih mungkin menawarkan solusi yang spesifik dan relevan, daripada sekadar memberikan janji populis yang bersifat umum.
Sebagai contoh, di daerah-daerah dengan tingkat pengangguran yang tinggi, janji menciptakan lapangan pekerjaan harus disertai dengan detail mengenai bagaimana cara mencapainya. Apakah dengan membuka industri baru? Atau melalui pelatihan keterampilan untuk para pengangguran? Janji yang bersifat global tanpa menyentuh akar permasalahan lokal biasanya hanya sekadar retorika belaka.
Di era politik modern, salah satu isu yang terus menjadi perhatian utama adalah korupsi. Banyak calon kepala daerah yang berjanji akan memberantas korupsi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan. Namun, janji ini sering kali disalahgunakan sebagai alat kampanye tanpa adanya komitmen nyata untuk mewujudkannya.
Masyarakat harus jeli melihat sejauh mana komitmen para kandidat terhadap pemberantasan korupsi. Apakah mereka berani transparan mengenai anggaran kampanye? Apakah mereka siap membuka sumber pendanaan dan aliran dana politik mereka? Sering kali, kandidat yang paling lantang berteriak soal korupsi justru terlibat dalam praktik yang sama setelah mereka berkuasa. Maka, komitmen terhadap transparansi dan integritas sangat penting untuk diukur sejak awal kampanye.
Selain menilai janji politik secara kritis, masyarakat juga perlu aktif dalam proses Pilkada. Partisipasi masyarakat dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada para kandidat, baik melalui forum debat publik, media sosial, atau kampanye tatap muka. Hal ini penting untuk memastikan bahwa janji-janji politik yang dilontarkan memang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tapi juga soal bagaimana masyarakat berperan aktif dalam menentukan masa depan daerah mereka. Dengan menuntut akuntabilitas dari para calon sejak awal, masyarakat berperan dalam mencegah janji-janji kosong dan membantu menciptakan pemerintahan yang lebih baik.
Terakhir, masyarakat perlu memahami bahwa janji politik tidak selalu bisa diwujudkan secara langsung karena banyak faktor yang berada di luar kendali pemerintah daerah. Misalnya, beberapa program mungkin memerlukan intervensi atau bantuan dari pemerintah pusat, sehingga prosesnya bisa lebih panjang. Kandidat yang menjanjikan solusi instan terhadap masalah yang bersifat struktural, seperti kemiskinan atau pengangguran, patut dicermati dengan hati-hati.
Dalam Pilkada 2024, masyarakat Indonesia harus lebih kritis dan rasional dalam menilai janji politik yang dilontarkan oleh para calon. Dengan mempertimbangkan rekam jejak, relevansi janji terhadap kebutuhan lokal, dan komitmen terhadap transparansi, masyarakat dapat memilih pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu mewujudkan janji-janji tersebut menjadi kenyataan. Partisipasi aktif dan kesadaran akan pentingnya memilih berdasarkan fakta, bukan sekadar janji manis, adalah kunci dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan pro-rakyat.