Menyemai Kembali Nasionalisme Melalui Sinergi Keimanan dan Kemanusiaan

oleh
Foto Mas Raden saat tengah sowan dan nggalap berkah dengan Kiai Muhammad Mukhtar Mu'thi
iklan

Oleh: Mas Raden
(Pemimpin Redaksi E-Soerat Kabar MS Daily)

Pentingnya memahami kembali jati diri bangsa Indonesia dalam menghadapi perubahan zaman menjadi hal yang krusial saat ini. Dalam buku Rekonstruksi Nasionalisme karya Langgeng Purnomo, S.I.K., MH., Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi menekankan bahwa jati diri bangsa ini berakar pada manunggalnya keimanan dan kemanusiaan. Kedua elemen ini harus saling menjiwai, tidak boleh terlepas satu sama lain, karena di sanalah terletak inti dari karakter bangsa yang menjunjung tinggi moral, etika, dan rasa kemanusiaan yang kuat.

Keimanan dan kemanusiaan menjadi dua hal fundamental yang membentuk karakter bangsa Indonesia. Jika salah satunya dilepaskan, maka akan terjadi kehancuran moral dan etika di tengah masyarakat. Kyai Muchtar mengingatkan bahwa ketika keimanan tidak lagi mewarnai kemanusiaan atau sebaliknya, sisi kemanusiaan yang ada pada diri individu bisa lenyap. Akibatnya, orang akan cenderung menjadi sombong, intoleran, bahkan radikal. Dalam ekstremitas yang lebih jauh, keimanan yang tidak berpijak pada kemanusiaan dapat mendorong seseorang menuju tindakan terorisme, karena tidak ada lagi rasa hormat dan empati terhadap sesama manusia.

Pernyataan ini sangat relevan dalam konteks kekinian, di mana kita menyaksikan berbagai bentuk ketegangan sosial yang terjadi di masyarakat. Jika kita menilik lebih dalam, konflik-konflik ini sering kali berakar pada kurangnya pemahaman terhadap jati diri bangsa, yakni harmoni antara keimanan dan kemanusiaan. Misalnya, munculnya intoleransi dalam masyarakat yang cenderung mengarah pada sikap eksklusif dan radikal. Fenomena ini menunjukkan adanya kelonggaran dalam menghayati keimanan yang seharusnya mewarnai seluruh aspek kehidupan, termasuk kemanusiaan itu sendiri.

Salah satu karakter bangsa Indonesia yang diakui oleh dunia internasional adalah kasih sayang, toleransi, tenggang rasa, serta kemampuan menghormati perbedaan. Sifat-sifat ini telah menjadi warisan budaya yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, globalisasi, dan penetrasi teknologi digital, nilai-nilai luhur tersebut tampaknya mulai terkikis. Media sosial dan budaya asing yang datang tanpa filter yang kuat telah menggerus banyak elemen kebaikan dalam karakter bangsa.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa media sosial menjadi sarana yang sangat mudah diakses oleh setiap orang. Platform ini sering kali memfasilitasi penyebaran informasi yang justru merusak kesatuan bangsa. Banyak konten yang berpotensi mengadu domba, memicu kebencian, dan memperlemah rasa persatuan. Pada titik ini, keimanan dan kemanusiaan yang seharusnya menjiwai perilaku bangsa mulai tergeser oleh pengaruh global yang tidak terkontrol.

Toleransi, yang seharusnya menjadi salah satu pondasi kuat dalam keberagaman bangsa, mulai luntur. Masyarakat mulai lebih mudah terprovokasi oleh perbedaan, entah itu perbedaan keyakinan, suku, atau ideologi politik. Kasih sayang, yang dulunya menjadi ciri khas interaksi masyarakat Indonesia, sekarang mulai memudar. Rasa hormat terhadap orang yang berbeda pandangan semakin menipis, bahkan tidak jarang berujung pada tindakan kekerasan, baik secara verbal maupun fisik.

Masalah lain yang turut muncul adalah tergerusnya rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Kita harus mengakui bahwa semangat nasionalisme tidak lagi sekental seperti era-era sebelumnya. Banyak generasi muda yang lebih terpengaruh oleh budaya luar daripada nilai-nilai yang diwariskan oleh para pendiri bangsa. Mereka cenderung lebih familiar dengan budaya populer dari negara lain daripada mengenal lebih dalam sejarah bangsa sendiri.

Apabila ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya bisa sangat destruktif. Kehilangan rasa nasionalisme bisa berdampak langsung pada stabilitas negara. Nasionalisme bukan sekadar cinta kepada tanah air, melainkan juga kesadaran akan tanggung jawab menjaga persatuan dan kedaulatan negara dari segala bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri.

Ketiadaan rasa cinta tanah air membuat seseorang mudah dipengaruhi oleh propaganda asing, yang pada akhirnya bisa melemahkan daya tahan bangsa terhadap ancaman eksternal. Tanpa rasa nasionalisme yang kuat, individu atau kelompok dalam masyarakat akan kehilangan sense of belonging terhadap negara. Mereka tidak lagi merasa bahwa negara ini adalah rumah yang perlu dijaga dan dilestarikan, melainkan lebih melihat negara sebagai entitas yang bisa ditinggalkan jika ada tawaran yang lebih menguntungkan dari luar.

Sebagai pemimpin redaksi, saya sepenuhnya setuju dengan pemikiran Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi bahwa jawaban dari semua persoalan ini terletak pada bagaimana kita mengembalikan sinergi antara keimanan dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Keimanan harus menjadi pondasi bagi kemanusiaan, dan kemanusiaan harus selalu terikat pada nilai-nilai keimanan. Ini bukan hanya sekadar konsep, tetapi merupakan prinsip hidup yang harus diterapkan di setiap lapisan masyarakat.

Kita harus menanamkan kembali pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang dijiwai oleh keimanan kepada generasi muda. Pendidikan karakter berbasis keimanan dan kemanusiaan harus diperkuat, baik melalui institusi formal maupun nonformal. Di sini, peran keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat menjadi sangat vital.

Selain itu, pemerintah juga harus lebih serius dalam menangkal pengaruh negatif dari globalisasi dan digitalisasi. Pengawasan terhadap konten media sosial yang dapat memecah belah bangsa harus diperketat, tanpa mengabaikan hak kebebasan berpendapat. Negara harus hadir untuk melindungi warganya dari ancaman propaganda asing yang dapat merusak jati diri bangsa.

Akhirnya, jika kita semua, sebagai elemen bangsa, bisa merawat sinergi antara keimanan dan kemanusiaan ini, maka jati diri bangsa Indonesia akan kembali kuat. Dengan begitu, rasa nasionalisme dan cinta tanah air akan tumbuh subur di tengah perkembangan zaman. Hanya dengan itulah, Indonesia bisa bertahan menghadapi gempuran dari luar dan tetap tegak sebagai bangsa yang berdaulat.

Tulisan ini adalah pandangan pribadi Mas Raden, Pemimpin Redaksi E-Soerat Kabar MS Daily, yang terinspirasi oleh pemikiran Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi dalam Rekonstruksi Nasionalisme karya Langgeng Purnomo, S.I.K., MH.

iklan

Pewarta : Redaksi Istana

Gambar Gravatar
Deskripsi tentang penulis berita di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *