Bojonegoro – Sosok Parman kembali menjadi sorotan setelah insiden pemukulan yang diduga dilakukan oleh oknum kontraktor di Kecamatan Sukosewu mencuat ke publik. Pemberitaan yang telah tayang beberapa waktu lalu ternyata memancing sejumlah komentar dari berbagai kalangan. Namun, alih-alih menuai simpati, ada suara miring yang menyebut bahwa insiden tersebut merupakan buah dari perilaku dan etika Parman yang kerap menimbulkan keresahan.
“Kamu tahulah P itu seperti apa. Kalau saya, etika dia gak cocok,” ungkap salah seorang rekan yang enggan disebutkan identitasnya dengan nada kesal.
Komentar ini bukan tanpa dasar. Beberapa pengalaman tidak mengenakkan terkait Parman juga pernah dialami sejumlah pihak. Salah satunya terjadi di sebuah kantor dinas di Bojonegoro, di mana Parman diketahui sempat berteriak-teriak lantaran tidak segera ditemui oleh pejabat yang ingin dikonfirmasinya. Insiden serupa juga pernah diceritakan oleh seorang guru di salah satu sekolah, yang mengeluhkan sikap serupa dari Parman. Karakter keras tersebut dianggap tidak mencerminkan etika komunikasi yang baik, terutama dalam menjalankan perannya sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sebagai anggota LSM, Parman aktif dalam berbagai kegiatan yang mengusung fungsi kontrol sosial di masyarakat. Sayangnya, sikap dan tindak-tanduknya justru dianggap sering bertolak belakang dengan prinsip dasar yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang aktivis. Dalam menjalankan perannya, anggota LSM tidak hanya dituntut untuk kritis, tetapi juga menjaga etika komunikasi yang baik, sopan santun, serta mampu memberikan solusi konkret atas permasalahan masyarakat.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia pun telah memberikan arahan jelas terkait fungsi dan tanggung jawab LSM. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 21 menyebutkan bahwa setiap organisasi kemasyarakatan wajib mematuhi norma, etika, dan nilai sosial budaya masyarakat. Selain itu, Pasal 22 mengatur bahwa ormas atau LSM harus mengedepankan prinsip-prinsip yang menghindarkan perpecahan atau keresahan di masyarakat.
Pandangan bahwa insiden yang menimpa Parman merupakan bagian dari karma atas perilakunya tentu menuai polemik. Dalam sudut pandang hukum positif, tindak penganiayaan tetaplah merupakan pelanggaran hukum yang tidak dapat dibenarkan, apa pun alasannya. Pasal 351 KUHP secara tegas menyatakan bahwa penganiayaan adalah tindakan yang melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana.
Namun demikian, perdebatan mengenai etika dan sikap Parman tidak bisa diabaikan begitu saja. Perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan sopan santun masyarakat kerap kali menciptakan persepsi negatif, baik terhadap individu yang bersangkutan maupun organisasi yang diwakilinya. Hal ini seharusnya menjadi bahan refleksi, tidak hanya bagi Parman tetapi juga bagi LSM atau organisasi yang menaunginya.
Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan antara fungsi kontrol sosial dan penghormatan terhadap nilai-nilai etika. Kritik yang disampaikan dengan cara yang baik dan penuh hormat akan lebih efektif dan mendapatkan perhatian yang positif dibandingkan dengan pendekatan yang konfrontatif.
Bagi aktivis dan anggota LSM, peran sebagai penggerak perubahan sosial menuntut mereka untuk menjadi teladan dalam bertindak dan berkomunikasi. Ini bukan hanya soal kepentingan pribadi, tetapi juga menyangkut kredibilitas organisasi yang diwakili. Karena itu, etika dan sopan santun harus menjadi fondasi yang tak tergoyahkan dalam menjalankan tugas sebagai agen perubahan.
Kasus Parman ini seharusnya tidak hanya menjadi pelajaran bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi semua pihak yang terlibat dalam kerja sosial untuk selalu menjaga integritas dan nilai-nilai moral yang luhur. Pada akhirnya, menghormati orang lain adalah bagian tak terpisahkan dari menghormati diri sendiri.[den/red]