Ngunduh Wohing Pakarti: Menanam Perbuatan, Memanen Kehidupan

oleh
iklan

Oleh: Mas Raden (Pemred Portalistana.Id)

Falsafah Jawa kaya akan ajaran moral dan etika yang diwariskan secara turun-temurun, menjadi panduan hidup bagi masyarakat yang menjunjung tinggi keseimbangan dalam berperilaku. Salah satu falsafah yang patut direnungkan adalah “Ngunduh Wohing Pakarti,” yang secara harfiah berarti “memanen buah dari perbuatan.” Ajaran ini mengajarkan bahwa siapa yang menanam benih perbuatan, baik itu positif atau negatif, akan memetik hasil dari apa yang telah ditanamnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini sangat relevan, tidak hanya sebagai pedoman pribadi, tetapi juga sebagai prinsip sosial yang menekankan tanggung jawab atas setiap tindakan yang kita lakukan. Ajaran ini mirip dengan konsep karma dalam agama Hindu dan Buddha, serta pepatah “apa yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai” dalam kepercayaan lain. Dengan demikian, falsafah “Ngunduh Wohing Pakarti” mengingatkan kita bahwa perbuatan kita, baik maupun buruk, pada akhirnya akan kembali kepada kita, seperti halnya petani yang memanen hasil sesuai dengan apa yang ia tanam di ladang.

Setiap tindakan yang kita ambil memiliki konsekuensi. Apakah kita sadar atau tidak, tindakan kita terhadap orang lain, lingkungan, bahkan terhadap diri sendiri, akan menghasilkan sesuatu di masa depan. Ketika seseorang berbuat baik, berkontribusi positif kepada sesama, dan menjalani kehidupan dengan jujur dan integritas, ia akan menuai hasil berupa penghargaan, kepercayaan, dan ketenangan batin. Sebaliknya, perbuatan yang didasarkan pada niat buruk, ketidakjujuran, atau merugikan orang lain akan mendatangkan balasan berupa penderitaan atau rasa bersalah.

Falsafah ini memberikan perspektif yang jelas tentang pentingnya kesadaran dalam bertindak. Kita tidak hidup di ruang hampa, tetapi dalam ekosistem sosial di mana setiap tindakan kita berdampak pada orang lain. Oleh karena itu, konsep “Ngunduh Wohing Pakarti” menuntut tanggung jawab moral yang besar dalam setiap langkah yang kita ambil.

Misalnya, ketika seorang pemimpin menjalankan tugasnya dengan adil dan memperhatikan kepentingan masyarakat, ia akan mendapatkan dukungan dan rasa hormat dari rakyatnya. Sebaliknya, jika ia menyalahgunakan wewenang dan bertindak sewenang-wenang, hasil yang dituainya adalah ketidakpercayaan, kerusuhan, dan mungkin penggulingan dari kekuasaan. Inilah bentuk nyata dari ajaran “Ngunduh Wohing Pakarti.”

Dalam konteks sosial yang lebih luas, falsafah ini juga berbicara tentang tanggung jawab kolektif. Sebagai anggota masyarakat, kita harus memahami bahwa tindakan kita tidak hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada komunitas. Ketika seseorang berkontribusi pada kebaikan bersama, seperti menjaga kebersihan lingkungan, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, atau membantu sesama, ia sebenarnya menanam benih kebaikan yang suatu saat akan kembali dalam bentuk yang mungkin tak terduga.

Sebaliknya, jika ada individu yang acuh tak acuh terhadap lingkungan, merusak fasilitas umum, atau berbuat semena-mena kepada sesama, ia pun akan menghadapi konsekuensi negatif, baik secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, ketika ada seseorang yang membuang sampah sembarangan, ia mungkin tidak langsung merasakan dampaknya. Namun, seiring waktu, tumpukan sampah akan mengakibatkan banjir, pencemaran, dan masalah kesehatan yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Dengan demikian, “Ngunduh Wohing Pakarti” menekankan pentingnya tanggung jawab tidak hanya secara individu, tetapi juga secara sosial. Setiap tindakan kita, sekecil apa pun, berkontribusi pada bentuk masyarakat yang kita tinggali. Ini mengajarkan bahwa untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, kita harus memulainya dari diri sendiri dengan menanam kebaikan dan bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.

Falsafah “Ngunduh Wohing Pakarti” tidak hanya berbicara tentang menerima hasil baik dari perbuatan baik, tetapi juga menerima konsekuensi dari perbuatan buruk. Seseorang yang pernah melakukan kesalahan atau tindakan yang merugikan, pada akhirnya akan dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus menerima balasan dari perbuatannya. Namun, ini tidak serta merta berarti bahwa orang tersebut tidak bisa berubah. Justru, melalui pengalaman buruk itulah seseorang belajar untuk memperbaiki diri dan menanam benih kebaikan di masa depan.

Ketika kita berbicara tentang “memanen hasil,” ada unsur refleksi yang sangat penting. Orang Jawa dikenal sebagai masyarakat yang penuh perhitungan dalam menjalani hidup. Setiap langkah diperhitungkan, dan setiap keputusan dipertimbangkan dengan matang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memahami betul bahwa segala sesuatu memiliki akibat, dan tidak ada tindakan yang luput dari pengawasan hukum alam.

Contoh nyata dari filosofi ini dapat kita lihat dalam dunia pendidikan. Seorang siswa yang rajin belajar dan menghormati guru serta teman-temannya, pada akhirnya akan mencapai hasil yang baik dalam ujian dan kehidupan. Sebaliknya, siswa yang malas, tidak menghargai waktu, dan menyepelekan nasihat gurunya akan menghadapi kesulitan di kemudian hari.

Satu hal yang tidak kalah penting dari falsafah ini adalah mengajarkan kita untuk menerima hasil dari tindakan kita dengan lapang dada. Kadang-kadang, meskipun kita telah berusaha berbuat baik,

hasil yang kita terima mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan. Begitu pula, dalam situasi tertentu, perbuatan yang kita anggap benar bisa saja tidak mendapat balasan positif dalam waktu dekat. Namun, falsafah “Ngunduh Wohing Pakarti” mengingatkan bahwa kita harus tetap ikhlas dan percaya bahwa setiap tindakan kita pasti akan mendapatkan balasan sesuai waktunya, meskipun mungkin hasil tersebut datang dengan bentuk yang tidak kita duga.

Dalam menghadapi hasil tersebut, kesabaran dan penerimaan menjadi kunci. Seperti pepatah Jawa lain, “Sabar iku luhure ngelmu” (Kesabaran adalah puncak dari ilmu), orang yang memahami bahwa setiap tindakan membawa hasil juga harus siap menerima apapun yang terjadi dengan hati terbuka. Dengan demikian, kita tidak hanya mengharapkan hal-hal baik dari perbuatan baik, tetapi juga siap menerima pelajaran dari segala konsekuensi.

Sebagai contoh, dalam dunia bisnis, seorang pengusaha mungkin telah melakukan segala sesuatu dengan jujur dan berusaha keras, tetapi menghadapi kegagalan akibat faktor di luar kendalinya, seperti situasi ekonomi global atau bencana alam. Dalam kondisi seperti ini, sikap lapang dada dan keteguhan hati dalam menerima hasil menjadi penting, sambil terus menanam benih kebaikan dan bekerja keras untuk masa depan yang lebih baik.

Di era modern, di mana kecepatan dan efisiensi sering kali menjadi prioritas utama, falsafah “Ngunduh Wohing Pakarti” tetap relevan sebagai pengingat akan pentingnya prinsip moral dan etika dalam setiap aspek kehidupan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, seringkali orang tergoda untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip moral demi mendapatkan hasil yang cepat dan instan. Namun, falsafah ini mengajarkan bahwa kualitas dari hasil yang kita peroleh akan lebih berharga jika diperoleh melalui cara yang benar.

Hal ini dapat diterapkan di berbagai bidang, mulai dari politik, bisnis, pendidikan, hingga hubungan pribadi. Seorang politikus yang mendasarkan kampanyenya pada janji-janji palsu dan manipulasi mungkin dapat memenangkan pemilihan, tetapi pada akhirnya, ia akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang ia wakili. Di sisi lain, politikus yang jujur, meskipun menghadapi banyak rintangan, akan mendapatkan hasil yang lebih langgeng berupa rasa hormat dan dukungan jangka panjang.

Demikian pula dalam dunia bisnis, perusahaan yang berfokus pada keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika bisnis, seperti eksploitasi tenaga kerja atau merusak lingkungan, mungkin akan mendapatkan keuntungan dalam waktu singkat. Namun, konsekuensi dari tindakan tersebut bisa sangat merugikan dalam jangka panjang, baik berupa sanksi hukum, reputasi yang buruk, atau kehilangan kepercayaan pelanggan.

Pada akhirnya, “Ngunduh Wohing Pakarti” bukan hanya sekadar falsafah yang mengajarkan hukum sebab-akibat, tetapi juga panduan moral bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari tindakan tersebut. Ajaran ini mengingatkan kita bahwa kehidupan adalah proses berkelanjutan di mana setiap perbuatan yang kita lakukan akan berdampak pada masa depan.

Sebagai generasi penerus, kita seharusnya tidak hanya memahami falsafah ini dalam konteks tradisi Jawa, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kompleks. Dengan menjaga integritas, bertindak dengan niat baik, serta selalu memperhitungkan dampak dari setiap tindakan, kita tidak hanya akan memanen hasil yang baik untuk diri kita sendiri, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih baik dan adil.

Falsafah ini menuntut kita untuk terus menanam kebaikan, meskipun mungkin hasilnya tidak dapat kita nikmati dalam waktu dekat. Dengan mengingat bahwa setiap perbuatan pasti akan berbalik kepada kita, baik dalam bentuk keberuntungan maupun pelajaran berharga, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan penuh rasa tanggung jawab.

“Ngunduh Wohing Pakarti” adalah cerminan dari nilai-nilai kehidupan yang universal, yang mengajarkan kita untuk selalu memperhatikan langkah-langkah yang kita ambil. Karena pada akhirnya, siapa yang berbuat, pasti akan menerima hasil dari perbuatannya.

iklan

Pewarta : Redaksi Istana

Gambar Gravatar
Deskripsi tentang penulis berita di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *