Pakai Baju Raja Kutai Kartanegara, Jokowi Tak Undang Sultan Kutai

oleh
Foto Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Aji Muhammad Arifin
iklan

TENGGARONG  – Hari ini menjadi tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia, dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-79 yang digelar untuk pertama kalinya di Ibu Kota Nusantara (IKN). Upacara peringatan berlangsung dengan khidmat di tengah bangunan megah yang mencirikan kemegahan IKN, dan Istana Garuda berdiri sebagai latar belakang yang mencolok. Sabtu (17/8/2024).

Presiden Joko Widodo, yang memimpin upacara, tampak gagah dalam pakaian adat khas Kutai. Namun, pilihan pakaian tersebut menjadi sorotan karena ternyata, pakaian yang dikenakan oleh Presiden bukanlah pakaian adat sembarangan.

Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Sultan Aji Muhammad Arifin, memberikan penjelasan terkait hal ini saat dihubungi oleh Radarkukar.com. Menurut Sultan Aji Muhammad Arifin, pakaian adat yang dipakai Presiden Jokowi merupakan pakaian internal Kesultanan Kutai yang tidak sembarang orang bisa mengenakannya.

“Pakaian ini dikategorikan pakaian di dalam keraton. Filosofinya, artinya, orang yang pakai itu betul-betul Raja yang pakai,” tegas Sultan Aji Muhammad Arifin. Pernyataan ini mencerminkan betapa pentingnya makna pakaian adat dalam konteks budaya Kesultanan Kutai.

Meskipun pakaian tersebut adalah pakaian internal kesultanan, Sultan Aji Muhammad Arifin mengaku tidak mempermasalahkan pemakaiannya oleh Presiden Jokowi. “Silahkan saja dipakai, pakaian kesultanan dipakai untuk menghormati peringatan 17 Agustus, bukan dipakai setiap hari,” ujarnya. Sultan Aji Muhammad Arifin menyebutkan bahwa pihak istana telah meminta izin sebelumnya untuk menggunakan pakaian tersebut dalam upacara peringatan di IKN.

Di sisi lain, ketidakhadiran Sultan Aji Muhammad Arifin dalam upacara di IKN juga menimbulkan pertanyaan. Sultan Aji Muhammad Arifin memilih untuk melaksanakan upacara HUT RI ke-79 di halaman Kantor Bupati Kutai Kartanegara (Kukar). Ketika dikonfirmasi oleh Radarkukar.com, Sultan mengungkapkan bahwa ia tidak menghadiri upacara di IKN karena tidak mendapatkan undangan.

“Tergantung dengan faktor alam, cuaca, dan undangan, kita nggak ada (undangan),” ucap Sultan Aji Muhammad Arifin. Meskipun tidak dilibatkan dalam upacara di IKN, Sultan Aji Muhammad Arifin menyatakan bahwa ia tidak merasa tersinggung. “Tidak ada perasaan, itu terserah orang mau undang atau tidak. Tergantung panitianya,” tegasnya.

Menurut Sultan, perayaan HUT RI ke-79 harus dimaknai secara konsisten di mana pun dilaksanakan. “Saya biasa aja, masing-masing daerah, sama saja. Kita sama-sama merayakan kemerdekaan kita bersama Indonesia,” tambah Sultan Aji Muhammad Arifin.

Perayaan HUT RI ke-79 di IKN menjadi momen penting yang tidak hanya menunjukkan kemegahan ibu kota baru, tetapi juga menggambarkan kompleksitas hubungan antara tradisi budaya dan pemerintahan modern. Pemilihan pakaian adat oleh Presiden Joko Widodo yang merupakan bagian dari budaya Kesultanan Kutai mencerminkan penghargaan terhadap warisan budaya Indonesia. Namun, ketidakhadiran Sultan Aji Muhammad Arifin menunjukkan adanya ketegangan atau kurangnya koordinasi dalam perayaan yang melibatkan banyak pihak.

Seiring dengan upacara yang berlangsung di IKN, masyarakat Indonesia di seluruh tanah air turut merayakan hari kemerdekaan dengan berbagai cara, masing-masing dengan cara dan maknanya sendiri. Perbedaan dalam pelaksanaan upacara ini, meskipun kecil, menyoroti betapa pentingnya peran tradisi dalam konteks nasional dan bagaimana berbagai elemen masyarakat berinteraksi dalam perayaan bersama.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa meskipun perayaan kemerdekaan di IKN menjadi simbol penting bagi negara, setiap daerah dan komunitas memiliki cara sendiri untuk merayakan hari bersejarah ini. Perbedaan dalam pelaksanaan dan partisipasi bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, melainkan merupakan bagian dari kekayaan budaya dan pluralisme yang menjadi ciri khas Indonesia.

Dengan demikian, HUT RI ke-79 di IKN bukan hanya tentang kemegahan dan simbolisme, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai dan merayakan keberagaman budaya dan sejarah bangsa kita. Perayaan ini harus dilihat sebagai kesempatan untuk mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghargai kontribusi setiap elemen masyarakat dalam perjalanan panjang Indonesia menuju kemerdekaan dan keutuhan negara.[den/red]

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *