Pekerja Rumah Tangga Anak, Mereka yang Terabaikan

oleh
iklan

Oleh: Dian Sasmita (Komisioner KPAI)

Data terkait pekerja anak menurut BPS tahun 2021 adalah 1,05 juta orang dengan proporsi terbanyak berasal dari pedesaan.  JALA PRT mencatat tahun 2020 terdapat 4 juta orang menjadi PRT di Indonesia tahun 2020, 30% diantaranya adalah anak perempuan.

Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) mencatat tiga provinsi tertinggi situasi anak umur 10-17 tahun yang bekerja adalah NTB, NTT, dan Sulawesi Tenggara di tahun 2021. Data ini tidak dijelaskan apa saja bentuk-bentuk pekerjaan anaknya. Namun anak usia tersebut diasumsikan berpendidikan SD-SMP. Keterampilan yang dimiliki pun masih terbatas.

PRT adalah pekerjaan yang rentan melanggar hak asasi karena durasi waktu yang panjang. Terutama bagi PRT yang tinggal serumah dengan majikan. Mereka terbatas akses dengan dunia luar, sehingga ketika terjadi kekerasaan tidak dapat segera diketahui. Perjanjian kerja hanya informal dan dibuat sepihak, bahkan banyak diantaranya yang tidak memiliki perjanjian. PRT tidak memiliki posisi tawar dengan berbagai alasan. 

PRT Anak memiliki kerentanan tambahan. Pekerjaan rumah tangga cenderung berat dilakukan anak yang masih fase tumbuh kembang, sehingga mempengaruhi pertumbuhan fisik dan psikis mereka. Anak cenderung akan putus sekolah karena keterbatasan waktu di luar pekerjaan. Pemalsuan identitas untuk memenuhi persyaratan bekerja di luar pulau juga banyak terjadi. Usia dituakan daripada seharusnya, sehingga tak sedikit dari mereka tidak memiliki BPJS Kesehatan. Hak atas kesehatan dasar pun terabaikan. 

Sepekan lalu mencuat kasus empat PRT Anak di Jakarta Timur yang harus kabur karena tidak mendapatkan upah sekian bulan dan diperlakukan tidak manusiawi. Salah satunya terluka karena melompat dari tembok rumah yang tinggi. 

Praktek jamak di beberapa daerah adalah ngenger. Anak ‘membantu’ pekerjaan rumah tangga sembari disekolahkan. Biasanya pemberi kerja masih memiliki hubungan kekerabatan dan status sosial atau ekonominya lebih baik. Anak disekolahkan dianggap sebagai upah telah membantu pekerjaan rumah tangga.

Tidak semua PRT Anak beruntung mendapatkan majikan atau pekerjaan yang manusiawi. Beberapa diantaranya malah menjadi korban kekerasaan, bekerja sejak usia anak. PRT Anak rentan mendapatkan kekerasaan fisik seperti dipukul atau penyiksaan lainnya yang dapat mengakibatkan cacat atau kematian. Kekerasaan tersebut juga berdampak pada kemampuan sosial anak. Anak malu dan menarik diri dari pergaulan. Bahkan mereka kehilangan upah karena melaporkan majikannya. Tahun 2023, KPAI menerima pengaduan kasus kekerasan terhadap PRT Anak berusia 15 tahun di Lampung.

Perlindungan hukum untuk PRT ada di UUD 1945 pasal 28B ayat (2) dan pasal 28D ayat (1) (2) tentang jaminan perlindungan dari kekerasan dan  diskriminasi tanpa kecuali, termasuk dalam hubungan kerja. Namun sayangnya UU No.13 th.2003 tentang ketenagakerjaan belum memasukan PRT sebagai salah satu subyek hukum yang dilindungi secara khusus. Selain itu terdapat seperangkat instrumen internasional seperti Konvensi ILO no, 182 tahun 1990 tentang pekerjaan-pekerjaan terburuk pada anak dan Konvensi Hak Anak tahun 1989, khususnya Pasal 32 tentang perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan bentuk pekerjaan yang berbahaya atau mengganggu pendidikan, kesehatan, atau tumbuh kembang anak.

Terdapat tiga area hubungan dalam isu PRT Anak ini. Pertama adalah pemenuhan hak dan perlindungan PRT Anak. Ini adalah hubungan negara sebagai pemegang kewajiban dengan anak sebagai claim holder. Negara berkewajiban melakukan upaya legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan untuk mengatur tentang jam kerja, upah, hingga kriteria orang yang dapat mempekerjakan PRT.

Kedua, hubungan antar individu antara majikan sebagai pemberi kerja dengan PRT Anak. Ketika terjadi kekerasan oleh majikan, maka majikan lah yang bertanggung jawab penuh secara pidana. Bukan negara sebagai pembuat regulasi. Ketiga, ketika PRT Anak bekerja di lingkungan yang tidak sehat (polusi tinggi, suhu ekstrim) maka tanggung jawab ada di majikan dan negara. Majikan tidak mengupayakan lingkungan yang lebih layak/sehat bagi PRT Anak. Negara tidak melakukan antisipasi lewat kebijakan atau programnya untuk menangani polusi yang berdampak pada kesehatan warga, termasuk PRT Anak.

Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan penghapusan/abolisi pekerja anak. Karena situasi kerentanan anak menjadi korban kekerasan, eksploitasi, perlakuan buruk. Jika hal ini terjadi, maka menjadi beban negara untuk mendukung pemulihannya. Kehadiran pekerja anak juga menambah PR negara untuk menjamin hak-hak mereka terpenuhi tanpa diskriminasi. Serta kewajiban negara untuk melindungi anak-anak yg terpaksa bekerja.

Kondisi ideal adalah Indonesia tanpa pekerja anak, termasuk PRT. Namun untuk mewujudkannya perlu dilakukan secara bertahap. Pertama, DPR harus segera mengesahkan RUU PRT yang menjamin pemenuhan hak-hak dan perlindungan PRT, termasuk anak. Regulasi yang tegas dan jelas akan meningkatkan keterjaminan hak-hak PRT Anak seperti jam kerja, upah, beban kerja, termasuk jaminan melanjutkan pendidikan, kesehatan, termasuk waktu luang untuk istirahat atau mengembangkan bakat minatnya. Terlebih, advokasi RUU PRT ini telah diperjuangkan 20 tahun terakhir oleh segenap aktivis dan Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT).

Kedua, pendekatan return and reintegration untuk PRT Anak. Pengembalian anak ke lingkungan sosialnya dan keluarga melalui dukungan pemerintah pusat, daerah, hingga desa. Keberhasilan reintegrasi anak membutuhkan ketersediaan program dan layanan pendampingan untuk anak dan keluarga yang berkelanjutan. Termasuk akses atas pendidikan, pelatihan keterampilan, jaminan, dan bantuan sosial bagi anak dan keluarganya, sehingga faktor pendorong anak menjadi PRT dapat terkikis seiring waktu. 

PRT Anak bukan masalah privat antara pemberi kerja dengan pekerja. Pemerintah dan legislatif harus menunjukan keseriusannya untuk melindungi anak-anak yang terpotret di Indeks Perlindungan Khusus Anak di atas. Karenanya saat ini, RUU PRT harus segera disahkan untuk mereka, anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai PRT untuk meringankan beban ekonomi keluarga.

iklan

Pewarta : Redaksi Istana

Gambar Gravatar
Deskripsi tentang penulis berita di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *