Praktik Jual LKS di SDN Ngasemlemahbang: Keuntungan 328% di Tengah Larangan

oleh
iklan

LAMONGAN – Di tengah larangan pemerintah terkait penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah, SDN Ngasemlemahbang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, diduga masih melakukan praktik bisnis yang menguntungkan dengan menjual LKS kepada siswa-siswinya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh awak media ini, harga pasaran LKS biasanya berkisar sekitar Rp 7.000, namun di sekolah tersebut, setiap siswa dikenakan tarif minimal sebesar Rp 30.000 untuk satu buku. Selisih harga yang mencapai 328,57% menimbulkan dugaan bahwa sekolah mengambil keuntungan besar dari praktik ini, bertentangan dengan regulasi yang berlaku.

Larangan penggunaan LKS sebenarnya telah diatur dengan jelas dalam Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 tentang buku yang digunakan oleh satuan pendidikan. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa LKS tidak diperbolehkan lagi digunakan sebagai bahan ajar di sekolah. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 menegaskan bahwa sekolah dilarang memperjualbelikan buku paket maupun LKS kepada murid. Aturan ini berlaku bagi seluruh sekolah di Indonesia, mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK.

Namun, meskipun larangan tersebut telah diberlakukan, banyak orang tua siswa tetap membeli LKS yang diarahkan melalui toko buku tertentu di luar sekolah. Praktik ini, yang masih marak di beberapa daerah, menimbulkan polemik, terutama ketika harga yang dikenakan kepada orang tua murid jauh lebih tinggi dibandingkan harga pasaran.

Informasi ini pertama kali terungkap melalui pengumuman yang beredar di grup WhatsApp wali murid SDN Ngasemlemahbang. Dalam pengumuman tersebut, tertera rincian pembayaran buku LKS untuk tahun ajaran 2024/2025 yang mencakup berbagai mata pelajaran dari kelas 1 hingga kelas 6. Di bagian akhir pengumuman, terdapat keterangan ttd (tanda tangan) Kepala Sekolah, Sukarti, S.Pd, yang seolah mengesahkan tindakan tersebut.

Berikut adalah rincian pembayaran LKS berdasarkan pengumuman tersebut:

Kelas 1, 2, dan 3:
Agama: Rp 35.000
Bahasa Arab: Rp 35.000
Bahasa Inggris: Rp 35.000
Bahasa Jawa: Rp 35.000
Penjasorkes: Rp 30.000
PKN: Rp 35.000
Bahasa Indonesia: Rp 30.000
Matematika: Rp 35.000
Total: Rp 270.000

Kelas 4, 5, dan 6:
Agama: Rp 35.000
Bahasa Arab: Rp 35.000
Bahasa Inggris: Rp 35.000
Bahasa Jawa: Rp 35.000
Penjasorkes: Rp 30.000
PKN: Rp 35.000
Bahasa Indonesia: Rp 30.000
Matematika: Rp 35.000
IPA: Rp 35.000
Total: Rp 305.000

Dengan total biaya sebesar itu, dugaan bahwa sekolah mengambil keuntungan dari penjualan LKS ini semakin kuat, terlebih lagi jika dibandingkan dengan harga pasaran LKS yang lebih rendah.

Secara hukum, pemerintah sudah menyediakan buku paket secara gratis melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk setiap siswa di sekolah dasar hingga menengah. Artinya, kebutuhan akan buku, seharusnya sudah terpenuhi oleh anggaran sekolah. Tidak ada alasan bagi sekolah untuk kembali menarik biaya dari orang tua murid dengan dalih penyediaan LKS.

Kasus SDN Ngasemlemahbang ini menambah panjang daftar sekolah yang diduga melakukan praktik pungutan liar (pungli). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah secara tegas melarang adanya pungutan dari pihak sekolah kepada orang tua murid, kecuali dalam bentuk sumbangan sukarela yang tidak mengikat. Selain itu, Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pencegahan Pungli di Satuan Pendidikan juga melarang segala bentuk pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Menanggapi dugaan praktik pungli yang terjadi di SDN Ngasemlemahbang, Rico Tomana, Manajer Eksekutif GSN Foundation, menyatakan keprihatinannya.

“Praktik penjualan LKS yang dilakukan oleh sekolah-sekolah seperti ini jelas-jelas melanggar peraturan. Pemerintah telah berupaya menyediakan buku-buku yang dibutuhkan siswa melalui anggaran Dana BOS, sehingga pungutan semacam ini tidak hanya membebani orang tua, tetapi juga mencederai prinsip pendidikan yang seharusnya gratis dan berkualitas,” ujar Rico.

Ia juga menambahkan, “Ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang sangat merugikan masyarakat. Pendidikan adalah hak dasar, dan tidak seharusnya menjadi ajang bisnis bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Saya berharap pihak yang berwenang dapat segera menindaklanjuti kasus ini dan memberikan sanksi tegas kepada mereka yang terlibat.”imbuhnya.

Tidak hanya secara hukum, praktik penjualan LKS dengan harga yang jauh di atas pasaran juga menimbulkan beban ekonomi yang berat bagi orang tua siswa, khususnya bagi mereka yang berada di daerah pedesaan dengan kondisi ekonomi yang terbatas. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengganggu akses siswa terhadap pendidikan yang layak.

Sementara itu, siswa sendiri tidak selalu memerlukan LKS dalam proses pembelajaran mereka. Dalam era digital seperti sekarang, banyak alternatif pembelajaran yang dapat diakses secara online. Selain itu, pemerintah juga telah memberikan akses ke berbagai sumber belajar yang dapat digunakan secara gratis oleh siswa dan guru.

Kasus yang menimpa SDN Ngasemlemahbang ini memperlihatkan bahwa praktik pungli dan penyalahgunaan wewenang masih menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan Indonesia. Diharapkan, pihak berwenang dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menghentikan praktik ini agar tidak semakin meluas ke sekolah-sekolah lain.

Dengan adanya bukti-bukti yang telah dihimpun, para orang tua murid serta masyarakat diharapkan dapat lebih kritis dan berani melaporkan segala bentuk penyimpangan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Keberhasilan pendidikan tidak hanya terletak pada kurikulum, tetapi juga pada integritas dari mereka yang terlibat di dalamnya.[den/red]

iklan

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *