“Bahasa adalah elemen paling mendasar dari perkembangan peradaban manusia.” (Richard Saupia)
Fenomena kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia tampaknya telah menjadi persoalan yang cukup menarik perhatian banyak kalangan ilmuwan, terutama para linguis. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan dalam rangka menyelamatkan bahasa-bahasa daerah yang cenderung mengarah pada proses kepunahan. Tentu saja hal itu cukup beralasan mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini (Tondo, 2009).
Dalam Ethnologue: Language of The World (2021) disebutkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 742 bahasa atau 10% dari total bahasa di dunia. Saat ini Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara yang paling banyak bahasa daerahnya. Akan tetapi, pada akhir abad ke-21, sekitar lebih dari setengah bahasa daerah di Indonesia akan punah. Hal ini didasarkan pada sebuah penelitian dari Australian National University (ANU) pada tahun 2021 yang menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-21, sekitar 1.500 bahasa dunia akan punah. Dengan mengikuti variabel yang dipakai, diperkirakan sekitar 441 bahasa (>50%) di Indonesia akan mengalami kepunahan.
Sumber gambar: @linguist_id
Beberapa provinsi di Indonesia dengan jumlah bahasa yang paling banyak mengalami kepunahan adalah Maluku, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan Maluku Utara. Di Provinsi Maluku terdapat 12 bahasa yang mulai punah (Hoti, Hukumina, Hulung, Kamarin, Kayeli, Loun, Moksela, Naka’ela, Nila, Nusa Laut, Serua, dan Te’un), di Papua terdapat 5 bahasa (Awere, Mapia, Onin Pidgin, Saponi, dan Tandia), di Papua Barat terdapat 3 bahasa (Duriankere, Dusner, dan Iha Podgin), di Nusa Tenggara Barat terdapat 1 bahasa (Tambora), di Sulawesi Utara terdapat 1 bahasa (Ponosakan), di Jawa Tengah terdapat 1 bahasa (Javindo), dan di Maluku Utara terdapat 1 bahasa (Ternateno).
Sumber gambar: @linguist_id
Sementara itu, terdapat dua bahasa yang berperan sebagai bahasa kedua tanpa penutur bahasa ibu (mother-tongue), sedangkan tiga bahasa lainnya telah punah. Beberapa di antara bahasa-bahasa yang masih hidup tadi diperkirakan berada di ambang kepunahan. Ada yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah penuturnya karena penutur aslinya tinggal beberapa orang saja, tetapi ada pula bahasa-bahasa yang terdesak oleh pengaruh bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dominan. Tak dapat dilupakan pula bahwa pengaruh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, terutama dalam berbagai ranah resmi (formal) seperti pemerintahan dan pendidikan sering kali menyebabkan frekuensi pemakaian bahasa daerah makin berkurang. Selain itu, kondisi masyarakat Indonesia yang multietnik dengan bahasa dan kebudayaannya masing-masing sudah tentu membuka peluang terjadinya kontak melalui komunikasi dan interaksi antaretnik yang berbeda bahasa dan kebudayaan tersebut. Berdasarkan pada data yang diperoleh dari Ethnologue (2023), setidaknya terdapat 24 bahasa daerah di Indonesia yang tidak lagi memiliki penutur atau jumlah penuturnya 0. Hal itu menjadi rapor merah bahasa sejauh ini.
Kondisi masyarakat yang multietnik dan diikuti oleh kontak antaretnik termasuk kontak bahasa dapat menyebabkan terjadinya berbagai fenomena kebahasaan seperti bilingualisme (atau bahkan multilingualisme) yang sering terjadi pada kelompok-kelompok bahasa minoritas. Kontak bahasa tersebut dapat pula mengakibatkan terjadinya pergeseran bahasa (language shift), yakni perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari, terutama sebagai akibat migrasi atau terjadinya perubahan bahasa (language change), yakni perubahan dalam bahasa sepanjang suatu periode. Selain itu, arus informasi dan komunikasi beserta berbagai gejala lainnya yang muncul akibat spektrum aktivitas dan orientasi pemakaian bahasa masyarakat dewasa ini yang makin global turut pula memicu munculnya berbagai persoalan kebahasaan, termasuk persoalan kepunahan bahasa daerah.
Kronologi Punahnya Bahasa Daerah
Punahnya sebuah bahasa daerah adalah proses yang kompleks dan dapat dipengaruhi berbagai faktor. Berikut adalah beberapa faktor umum yang dapat menyebabkan punahnya sebuah bahasa.
Pertama, globalisasi dan modernisasi dapat menyebabkan dominasi beberapa bahasa besar yang digunakan dalam perdagangan internasional, media, dan teknologi. Bahasa-bahasa besar ini sering kali memiliki dukungan dan daya saing yang lebih besar sehingga bahasa daerah dapat terpinggirkan dan diabaikan.
Kedua, perubahan demografis, seperti migrasi massal dan urbanisasi dapat menyebabkan perpindahan populasi dari daerah perdesaan ke kota-kota besar. Di kota-kota sering kali bahasa yang dominan adalah bahasa resmi atau bahasa utama yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa daerah di daerah perdesaan mungkin kehilangan pemakainya karena banyak yang berpindah.
Ketiga, proses asimilasi budaya dapat menyebabkan hilangnya bahasa daerah. Ketika masyarakat mulai bercampur dengan kelompok-kelompok budaya lain, bahasa daerah dapat tergantikan oleh bahasa yang lebih dominan atau dianggap lebih prestisius.
Keempat, bahasa sering kali menjadi alat kekuatan politik dan sosial. Jika dianggap tidak mendukung kepentingan politik atau sosial tertentu, bisa jadi sebuah bahasa akan diabaikan atau ditekan. Penerapan bahasa resmi tertentu sebagai bahasa utama pemerintahan atau pendidikan dapat mendesak bahasa daerah ke sudut yang lebih terpinggirkan.
Kelima, jika suatu bahasa tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah atau masyarakat, pendidikan dalam bahasa tersebut mungkin terbatas. Tanpa pendidikan yang memadai, jumlah pemakai bahasa daerah dapat menurun sehingga menyebabkan bahasa tersebut makin terancam punah.
Keenam, perkembangan teknologi dan media massa juga dapat berperan dalam punahnya bahasa daerah. Jika bahasa tersebut tidak diwakili di media atau teknologi modern, generasi muda mungkin tidak tertarik untuk mempelajari atau menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Proses punahnya bahasa daerah dapat berlangsung secara bertahap, tetapi terkadang sulit ditentukan titik waktunya yang jelas. Persoalan kepunahan bahasa-bahasa daerah ini tentu saja dapat berpengaruh pada kebijakan pemerintah secara nasional yang menghargai keberagaman dan turut memajukan bahasa daerah dalam rangka melestarikan aset kultural bangsa di bidang kebahasaan. Apabila proses kepunahan tersebut terus saja berlangsung tanpa ada usaha untuk mempertahankan dan mendokumentasikannya, kita akan kehilangan aset kultural yang sangat berharga bagi bangsa ini karena bahasa merupakan realitas budaya penutur sebuah bahasa. Selain itu, punahnya sebuah bahasa daerah dapat “mengubur” nilai-nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, kecuali apabila bahasa tersebut telah didokumentasikan dan ditransmisikan kepada orang lain sehingga nilai-nilai budaya yang bermanfaat dapat digunakan untuk kepentingan bersama.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi fenomena kepunahan bahasa, perlu dilakukan berbagai upaya cerdas dan serius. Hal itu tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi juga oleh komunitas etnik penutur bahasa tersebut dengan cara tetap menjaga loyalitasnya pada bahasa daerahnya sendiri agar tetap tinggi jumlah penuturnya sehingga tidak terjadi pergeseran bahasa yang pada akhirnya dapat menjurus pada kepunahan. Di samping berbagai upaya pendokumentasian, kajian-kajian dalam berbagai perspektif dan bahkan upaya-upaya revitalisasi terhadap bahasa-bahasa yang berada dalam proses kepunahan sebagai usaha agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang multilingual barangkali perlu dipikirkan secara lebih serius. Artinya, masyarakat diharapkan dapat menguasai sekaligus tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, dan bahasa etniknya sendiri dalam rangka melestarikan bahasa dan budaya daerahnya.
Daftar Bacaan
Tondo, Fanny Henry. (2009). Kepunahan bahasa-bahasa daerah: Faktor penyebab dan implikasi etnolinguistis. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 11(2)., https://www.ethnologue.com/country/ID/, https://www.instagram.com/linguist_id/