Serat Wulangreh adalah karya sastra berupa tembang macapat karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, yang lahir pada 2 September 1768. Dia bertahta sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober 1820.
Kata Wulang bersinonim dengan kata pitutur memiliki arti ajaran. Kata Reh berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya jalan, aturan dan laku cara mencapai atau tuntutan. Wulang Reh dapat dimaknai ajaran untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku menuju hidup harmoni atau sempurna. Untuk lebih jelasnya, berikut dikutipkan tembang yang memuat pengertian kata tersebut:
- “Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara”
- artinya ilmu itu bisa dipahami/ dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas, artinya kas berusaha keras memperkokoh karakter, kokohnya budi (karakter) akan menjauhkan diri dari watak angkara.
Berdasarkan makna tembang tersebut, laku adalah langkah atau cara mencapai karakter mulia bukan ilmu dalam arti ilmu pengetahuan semata, seperti yang banyak kita jumpai pada saat ini. Lembaga pendidikan lebih memfokuskan pengkajian ilmu pengetahuan dan mengesampingkan ajaran moral dan budipekerti.
Salah satu keistimewaan karya ini adalah tidak banyak menggunakan bahasa jawa arkhaik (kuno) sehingga memudahkan pembaca dalam memahaminya. Walaupun demikian, ada hal-hal yang perlu dicermati karena karya tersebut merupakan sinkretisme Islam-Kejawen, atau tidak sepenuhnya merupakan ajaran Islam, sehingga akan menimbulkan perbedaan sudut pandang bagi pembaca yang berbeda ideologinya.
Struktur Serat Wulang Reh terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan jumlah pada/bait yang berbeda, yaitu:
- Dhandhanggula, terdiri 8 pada/bait
- Kinanthi terdiri 16 pada/bait
- Gambuh terdiri 17 pada/bait
- Pangkur terdiri 17 pada/bait
- Maskumambang terdiri 34 pada/bait
- Megatruh terdiri 17 pada/bait
- Durma terdiri 12 pada/bait
- Wirangrong terdiri 27 pada/bait
- Pocung terdiri 23 pada/bait
- Mijil terdiri 26 pada/bait
- Asmaradana terdiri 28 pada/bait
- Sinom terdiri 33 pada/bait
- Girisa terdiri 25 pada/bait
Jika dilihat dari wujud tulisannya, Wulang Reh ditemukan dalam disertasi, thesis, skripsi, makalah, bahkan dapat dijumpai di dunia maya. Tulisan-tulisan tentang Wulang Reh pada umumnya mengupas isi atau maknanya yang kemudian bermuara pada interpretasi kandungan Wulang Reh, seperti nilai-nilai luhur, moral dan budi pekerti (ada yang menyebut dengan istilah etika), nilai-nilai religius, sampai pada ajaran tentang kepemimpinan. Ada pula yang melakukan secara khusus dari segi bahasa.
Yuli Widiyono, melakukan penelitian Tema, Nilasi Estetika dan Pendidikan dalam Serat Wulang Reh. Hasil kesimpulannya adalah:
- Pertama, tema yang terdapat pada serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV yaitu: ajaran untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian,tema tata krama, ajaran berbakti pada orang lain, tema ketuhanan, berbakti kepada pemerintah, pengendalian diri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan kesabaran, beribadah dengan baik, ajaran tentang keluhuran.
- Kedua, Keindahan serat Wulangreh adanya ritma dan rima serta bunyi bahasa meliputi purwakanthi swara, purwakanthi guru swara, dan purwakanthi lumaksita. Pemahaman tentang diksi (Pemilihan kata), aliterasi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, dan metrum terdapat dalam serat Wulangreh.
- Ketiga, nilai pendidikan moral pada Serat Wulangreh adalah nilai pendidikan moral kaitan antara manusia dengan Tuhan meliputi berserah diri kepada Tuhan, patuh kepada Tuhan, nilai pendidikan moral kaitan antara manusia dengan sesama, nilai pendidikan moral kaitannya manusia dengan diri pribadi, dan nilai tentang agama.
- ‘Keempat, ajaran yang ada pada serat wulangreh merupakan ajaran tata kaprajan ‘ajaran tentang perintah memberikan pengajaran untuk mencapai keluhuran hidup, ajaran pada serat Wedhatama merupakan ajaran tentang ilmu keutamaan.
Rukiyah, melakukan penelitian dari aspek kepemimpinan dalam Serat Wulang Reh. Kesimpulannya: Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak memiliki sifat lonyo, lemer, genjah, angrong pasanakan, nyumur gumiling, ambuntut arit, adigang, adigung, dan adiguna. Sebaliknya seorang pemimpin haruslah mempunyai sifat jujur, tidak mengharapkan pemberian orang lain, rajin beribadah, serta tekun mengabdi kepada masyarakat.