Tugas Dosen, Simbol Makna Kala Disia-siakan

oleh
iklan

Oleh: Usman Roin (Dosen Prodi PAI Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro.)

KALA-di perpustakaan kampus, penulis selain membaca, buku juga memiliki misi menunggu mahasiswa yang “belum” mengumpulkan tugas akhir semester (UAS). Setelah tugas dikumpulkan, alhasil terdapat pengerjaan yang tidak sungguh-sungguh.

Fenomena ini, bagi kita yang berprofesi dosen kerap ditemui. Bahkan ada yang agak janggal dalam benak kecil penulis. Mahasiswa tersebut manjadi “aktivis”, tetapi kurang serius mengerjakan tugas yang diberi oleh dosen.

Mahasiswa perlu tahu, bila tugas yang diberi oleh dosen selain sudah tercantum pada rencana pembelajaran semester (RPS) dengan luaran tertentu, pada perspektif pendidikan dalam rangka mendewasakan mahasiswa menempa keterampilan diri yang belum dimiliki. Hanya saja, hal itu berbanding terbalik dengan realitas yang ada.

Justru yang jamak masih asal-asalan, dan sekadar menggugurkan kewajiban. Bila kemudian dihubungkan dengan penilaian -lulus tidaknya mahasiswa- tentu tugas yang dikerjakan asal-asalan berkorelasi negatif dengan angka penilaian. Yakni, mahasiswa akan memperoleh nilai kurang baik.

Apalagi bila kemudian mahasiswa sekadar menggugurkan tugas. Selain nilai jelek akan didapatkan, sisi pengalaman pengembangan dirinya juga tidak akan mengalami peningkatan.

Bicara keberadaan mahasiswa yang masuk kategori uraian di atas, bagi penulis apa yang dilakukannya sama dengan menyia-nyiakan kesempatan dan waktu. Dari sisi kesempatan, dalam hal ini peluang berjalannya semester yang ditempuh akan mengalami kerugian. Wujudnya adalah, terdapat nilai mata kuliah yang mendapat nilai jelek. Oleh sebab, kurang hingga tidak sungguh-sungguh menuntaskan tugas yang diberi dosen.

Sementara dari sisi waktu, lamanya dia mengikuti tatap muka pembelajaran, kemudian sama-sama mengakhiri dengan menyelesaikan evaluasi tugas tengah-akhir semester yang diberi dosen, tentu akan melahirkan nilai yang ala kadarnya.

Logikanya, sama-sama mahasiswa dengan teman lainnya mengikuti tatap muka, kemudian juga menyelesaikan tugas tengah-akhir semester, idealnya dari sisi nilai sama-sama baik. Bila kemudian rentangnya jauh, analisa penulis itu karena dari sisi kualitas pengerjaan tugas tengah-akhir semester yang dikerjakan mahasiswa tidak sungguh-sungguh.

Asal Lulus

Logika penulis di atas, menjadi beda bila si mahasiswa yang ikut mata kuliah berorientasi hanya sekadar lulus. Alhasil, nilai berapapun tidak penting, asalkan lulus. Memang, hal itu sah di mata mahasiswa sesuai dengan keinginannya. Hanya saja, niat -asal lulus- yang dia tanamkan dari awal, serta tidak ingin hasil yang terbaik, meminjam bahasa Bertrand Russel (2020:224) dalam buku “Filosofi Hidup Bahagia” bagi penulis masuk kategori “niat salah”.

Mengapa dikata niat salah? Hakikatnya, ada proses pencapaian yang bisa dilakukan lebih si mahasiswa, tetapi dikekang. Ada usaha keras yang bisa dilakukan mahasiswa, tetapi tidak ia tunjukkan. Perlu diingat, sebuah pencapaian keberhasilan bukan semata-mata datang tiba-tiba, pemberian Tuhan. Usaha keras -lahir dan batin- berperan sangat penting.

Jika kemudian si mahasiswa membatasi usaha lahir-batin, sama dengan merencanakan niat jahat diri yang nyatanya bisa mahasiswa lakukan secara lebih. Meminjam bahasa Prof. Dr. Musa Asy’arie (2017:43) dalam buku “Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir”, bila eksistensi kita sebagai manusia tidak pernah menjadi sebagaimana cetakan, yang sudah selesai, dan permanen. Akan tetapi menurut beliau, memerlukan proses yang tidak pernah berhenti.

Oleh karena ada proses kehidupan yang tidak pernah berhenti, seyogyanya mahasiswa yang lalai dari mendayagunakan kemampuannya segera sadar, praktik penyelesaian tugas yang diberi oleh dosen dituntaskan dengan sebaik-baiknya.

Mahasiswa perlu sadar dan berterima kasih, bila tugas yang diberikan kepadanya bernilai mendidik. Artinya, membekali keterampilan dirinya bertambah, meningkat dan expert.

Akhirnya secuil uraian ini, semoga menjadi bagian dari “berfilsafat” yang dalam terminologi Ahmad D. Marimba (1962:14) dalam bukunya “Pengantar Filsafat Pendidikan Islam” dimaknai, karena penulis telah melakukan proses berpikir; atau berupaya memecahkan problem mahasiswa yang kurang tepat dalam menyelesaikan tugas; hingga menjawab problem belajar mahasiswa dengan mengarakan kepada jalan kebaikan melalui berpikir.

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *