JAKARTA – Paus Fransiskus, yang memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio, lahir di Buenos Aires pada tanggal 17 Desember 1936. Sebagai salah satu pemimpin spiritual paling berpengaruh di dunia, banyak yang mengenalnya sebagai sosok yang rendah hati, terbuka, dan dekat dengan rakyat kecil. Namun, di balik segala pencapaiannya sebagai pemimpin Gereja Katolik, terdapat dimensi lain yang menarik untuk dibahas, yaitu wetonnya dalam tradisi Jawa.
Jika tanggal kelahirannya ditarik ke dalam penanggalan Jawa, Paus Fransiskus lahir pada 3 Syawal 1867, bertepatan dengan hari Kamis Legi dalam kalender Jawa. Weton adalah kombinasi hari dan pasaran dalam kalender Jawa yang dipercaya memiliki pengaruh terhadap karakter, nasib, dan kehidupan seseorang. Dalam tradisi ini, weton Kamis Legi membawa berbagai makna yang bisa menjadi refleksi menarik tentang kepribadian Paus Fransiskus.
Dalam sistem weton, setiap hari dan pasaran memiliki angka yang disebut neptu. Kamis memiliki neptu 8, sedangkan Legi memiliki neptu 5. Jika dijumlahkan, neptu weton Paus Fransiskus adalah 13. Angka 13 dalam budaya Jawa tidak selalu dikaitkan dengan nasib buruk, melainkan lebih sebagai angka yang mencerminkan keseimbangan antara keberuntungan dan tantangan hidup.
Bagi Paus Fransiskus, angka 13 ini mencerminkan dua hal: harmoni dalam kehidupan spiritual dan tanggung jawab yang besar sebagai pemimpin. Meskipun Paus kerap dikenal karena sifatnya yang lemah lembut, angka ini menunjukkan bahwa ia juga menghadapi banyak tantangan dalam memimpin, termasuk kritik dan fitnah dari berbagai pihak.
Dalam tradisi Jawa, setiap hari memiliki karakteristik tertentu. Kamis dianggap sebagai hari yang “sangar,” artinya memiliki energi yang kuat dan menakutkan. Dalam konteks kepemimpinan Paus Fransiskus, ini bisa diartikan sebagai sikap tegas dalam menghadapi berbagai masalah internal dan eksternal yang dihadapi Gereja Katolik. Keberanian dan ketegasan Paus dalam berbagai isu, seperti reformasi Vatikan dan penghapusan korupsi, mungkin bisa dihubungkan dengan karakter “sangar” dari wetonnya.
Sementara itu, pasaran Legi memiliki konotasi yang lebih lembut, yaitu murah hati, bertanggung jawab, dan mudah bergaul. Legi juga sering dikaitkan dengan orang yang selalu tampak gembira meskipun menghadapi berbagai kesulitan. Ini terlihat dalam bagaimana Paus Fransiskus sering kali tersenyum dan berbicara dengan penuh kasih, meskipun dihadapkan dengan tantangan besar dalam menjalankan tugasnya.
Haståwårå: Kala, Sang Pemarah yang Berhati Luhur
Haståwårå atau Padewan adalah konsep lain dalam weton yang menggambarkan karakter seseorang lebih mendalam. Paus Fransiskus yang memiliki Padewan Kala, dikatakan sebagai sosok yang bisa menjadi pemarah dan suka mengganggu orang lain. Namun, ini juga bisa diartikan bahwa Paus tidak segan-segan menegur atau mengambil sikap tegas jika melihat ketidakadilan.
Meski begitu, kemarahan ini bukanlah tanpa alasan. Dalam banyak kesempatan, Paus menunjukkan sikap tegasnya, seperti dalam upayanya menindak tegas kasus-kasus pelecehan seksual di dalam Gereja. Kala di sini bukanlah sosok yang berbahaya, melainkan figur yang siap melindungi mereka yang tertindas.
Pasaran Legi: Keseimbangan dalam Pergaulan dan Fitnah
Legi juga menggambarkan seseorang yang murah hati dan mudah bergaul, namun sering kali menjadi sasaran fitnah. Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang sangat dekat dengan umatnya. Ia bahkan sering kali mengunjungi tempat-tempat yang jarang dikunjungi oleh Paus sebelumnya, seperti kawasan miskin dan penjara. Sikap keterbukaannya ini kerap kali disalahpahami oleh beberapa pihak yang merasa terganggu dengan pendekatannya yang egaliter.
Namun, di balik segala kritik dan fitnah, Paus tetap menunjukkan sikap rendah hati dan tetap menjalankan misinya untuk menciptakan keadilan sosial.
Satrya Wibawa: Kepemimpinan yang Penuh Wibawa
Saptåwårå atau Pancasuda yang dimiliki Paus Fransiskus adalah Satrya Wibawa, yang artinya memiliki wibawa dan berjiwa ksatria. Ini jelas terlihat dalam kepemimpinannya yang selalu mengutamakan etika dan nilai-nilai moral. Paus sering kali menekankan pentingnya kehidupan yang sederhana, meskipun memimpin sebuah institusi sebesar Gereja Katolik.
Sikapnya yang penuh wibawa ini juga tercermin dalam cara Paus menghadapai berbagai krisis, termasuk pandemi COVID-19 dan masalah perubahan iklim. Ia menggunakan pengaruhnya untuk mengajak seluruh umat manusia bersatu melawan ketidakadilan dan kerusakan lingkungan.
Rakam dan Paarasan: Teduh namun Kesepian
Dalam tradisi Jawa, Rakam Sanggar Waringin menggambarkan hati yang teduh, penuh perlindungan, dan suka membantu orang lain. Paus Fransiskus adalah sosok yang sering kali memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung. Namun, weton ini juga mencerminkan sifat kesepian, sebagaimana digambarkan oleh Paarasan Lakuning Lintang. Paus sering kali terlihat menyendiri, baik dalam refleksi spiritual maupun dalam keputusan-keputusan yang diambilnya.
Kesepian ini bisa diartikan sebagai beban berat yang harus dipikul sebagai pemimpin, di mana ia sering kali harus mengambil keputusan yang sulit dan kontroversial.
Melihat weton Kamis Legi Paus Fransiskus dalam konteks tradisi Jawa memberikan pandangan menarik tentang karakter dan kepemimpinannya. Dari sifat yang tegas namun penuh kasih, hingga tantangan yang dihadapi dalam menjalankan tugasnya, weton ini seolah menggambarkan perjalanan spiritual dan tanggung jawab besar yang ia emban.
Dengan segala sifat yang melekat pada wetonnya, Paus Fransiskus terus menunjukkan kepemimpinan yang berwibawa, berani, dan penuh kasih, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan kritik. Sebagai seorang pemimpin spiritual, weton ini seakan menjadi cerminan dari perjalanan hidup dan perjuangan yang ia hadapi demi kebaikan umat manusia.[den/red]