Oleh: Mas Raden (Pemred Portalistana.id)
Keris, senjata tradisional yang penuh makna mistis dan filosofis, telah lama menjadi simbol kehormatan bagi masyarakat Jawa. Di masa lalu, hampir setiap pria Jawa memiliki keris, bukan hanya sebagai senjata, tetapi sebagai lambang status sosial, jati diri, dan kehormatan. Namun, seiring berjalannya waktu, keris semakin terlupakan. Pertanyaan yang muncul di benak banyak orang saat ini adalah: “Wong Jowo kok gak ndue keris?” mengapa orang Jawa sekarang tidak lagi memiliki keris?
Di balik kalimat sederhana itu, tersimpan refleksi mendalam tentang perubahan budaya dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi di tengah masyarakat Jawa. Keris, yang dulu begitu diagungkan, kini banyak dianggap sebagai benda antik atau bahkan hiasan rumah belaka. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Apakah generasi muda Jawa sudah kehilangan minat terhadap warisan leluhur?
Keris bukan sekadar senjata tajam. Di balik bentuknya yang unik, setiap keris memiliki filosofi yang mendalam. Pembuatan keris melibatkan proses spiritual yang panjang. Para empu (pembuat keris) tidak hanya menempa logam, tetapi juga memasukkan doa-doa dan mantra dalam setiap pukulan palu mereka. Inilah yang membuat keris memiliki nilai magis yang diyakini dapat membawa keberuntungan atau melindungi pemiliknya dari bahaya.
Pada masa kerajaan Jawa, keris sering diberikan sebagai tanda penghargaan oleh raja kepada prajurit atau bangsawan. Keris menjadi simbol kehormatan, kekuatan, dan tanggung jawab. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, keris dianggap sebagai pendamping spiritual bagi pemiliknya. Setiap lekukan dan bentuk pamor (pola di bilah keris) memiliki makna khusus yang mencerminkan karakter pemiliknya.
Namun, makna mendalam ini perlahan-lahan terkikis oleh modernisasi dan globalisasi. Banyak orang Jawa hari ini tidak lagi memahami filosofi di balik keris. Keris hanya dianggap sebagai benda tua yang tidak relevan dengan kehidupan modern. Padahal, keris adalah simbol dari identitas Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kebijaksanaan.
Tak bisa dipungkiri bahwa perubahan zaman membawa dampak signifikan terhadap cara pandang masyarakat terhadap tradisi. Kemajuan teknologi dan arus globalisasi telah mengubah gaya hidup masyarakat Jawa secara drastis. Gawai dan media sosial kini lebih mendominasi kehidupan sehari-hari daripada kebiasaan tradisional seperti menyimpan dan merawat keris.
Generasi muda Jawa semakin jarang yang tertarik untuk memahami makna keris. Bahkan, di beberapa keluarga Jawa, keris yang diwariskan dari generasi sebelumnya hanya disimpan sebagai benda antik yang jarang disentuh. Pergeseran nilai ini mengarah pada hilangnya ikatan spiritual antara keris dan pemiliknya. Padahal, nenek moyang kita selalu menjunjung tinggi pentingnya menjaga warisan budaya sebagai bagian dari identitas diri.
Ironisnya, di tengah maraknya kebangkitan budaya pop yang seringkali mengadopsi budaya asing, warisan lokal seperti keris justru semakin tersisih. Banyak generasi muda lebih tertarik pada tren modern daripada memperdalam pemahaman mereka tentang budaya leluhur. Ini menjadi tantangan besar bagi pelestarian warisan budaya seperti keris.
Kita tak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa kebudayaan lokal semakin terkikis oleh pengaruh luar. Namun, bukan berarti kita harus menyerah pada keadaan ini. Penting untuk kembali membangkitkan kebanggaan masyarakat Jawa, khususnya generasi muda, terhadap warisan leluhur seperti keris.
Ada banyak cara untuk menghidupkan kembali semangat mencintai keris. Salah satunya adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dalam pendidikan modern. Sekolah-sekolah bisa memasukkan materi tentang keris dan filosofi di baliknya dalam kurikulum. Selain itu, acara-acara budaya dan pameran keris perlu lebih sering diadakan agar masyarakat bisa lebih mengenal dan menghargai peninggalan nenek moyang mereka.
Tak hanya itu, media juga bisa memainkan peran penting dalam mengangkat kembali popularitas keris. Film, dokumenter, atau acara televisi yang mengupas tentang keris dapat membantu memperkenalkan kembali keris kepada generasi muda. Dengan memanfaatkan media modern, pesan tentang pentingnya menjaga warisan budaya dapat lebih mudah diterima oleh khalayak luas.
“Wong Jowo kok gak ndue keris” adalah pertanyaan yang seharusnya menyentuh nurani setiap orang Jawa. Keris bukan hanya sebilah senjata, melainkan representasi jati diri, kehormatan, dan spiritualitas yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Ketika kita melupakan keris, kita tidak hanya melupakan benda fisik, tetapi juga melupakan filosofi kehidupan yang diwariskan oleh leluhur.
Mungkin, saat ini kita tidak lagi membawa keris kemana-mana seperti orang tua kita dahulu. Namun, kita tetap bisa merawat dan menghargainya sebagai warisan budaya yang sarat makna. Keris harus dipahami dan dihormati bukan sebagai benda kuno, melainkan sebagai simbol dari kekayaan dan kebijaksanaan budaya Jawa yang seharusnya selalu kita banggakan.