Pemerintah Acap Kali Gamang Dan Terkesan Tidak Konsisten

oleh
iklan

Oleh : Andi Salim (Ketua Penggerak Toleransi Indonesia)

Terdapat lah suatu negeri bernama Indonesia, dimana penduduknya hanya sibuk mengkritik pemerintahan negerinya, serta mendebati berbagai persoalan yang justru semakin menjauhkan rakyatnya menuju kesejahteraan. Hiruk pikuk politik dan nuansa kepongahan keagamaan semakin kental melintasi waktu demi waktu sementara mereka hanya mengandalkan sumber daya alam yang semakin terkuras akibat eksploitasi besar-besaran guna mengisi setiap perut anak bangsanya yang tak lama lagi akan habis. Gagasannya pun diubah pada startegi hilirisasi guna memperpanjang sumber pendapatan negara sekaligus membiarkan perdebatan yang tak pernah mengerucut pada kesimpulan terhadap apa yang menjadi kisi-kisi ekonomi bangsa ini yang bisa dibangkitkan atau dijual selain hanya mengandalkan sektor SDA saja.

 

Maka tak heran manakala semua kebutuhan masyarakatnya di import demi konsumsi perut mereka yang acap kali membutuhkan energi. Betapa tidak, mereka yang semestinya menjadi penghasil produk-produk yang dibutuhkan itu, kini hanya bekerja pada bidang jasa, atau berada dikantoran serta menjual kuliner dari hasil olahan pertanian, peternakan, perkebunan. Sementara kebun dan pertanian, atau budidaya perikanan dan peternakan mengalami trend yang semakin menurun. Tidak saja jumlah pelakunya, namun kini berdampak kepada kuantitatif hasil yang tidak lagi mencukupi perut-perut yang semakin menganga jika tidak disumpal dari import guna menutupi defisit terhadap kebutuhan dalam negeri sendiri. Mimpi swasembada pangan hanya sebatas retorika walau tanahnya dikatakan subur sekalipun.

 

Sementara penduduk desanya yang miskin pun hanya sibuk mencari kayu bakar guna keperluan memasak, walau apa yang dimasaknya belum tentu pasti pula, oleh karena ketergantungan pada sistem barter tidak lagi relevan. Artinya semua yang dibutuhkan hanya bisa diperoleh jika melalui proses jual beli yang bersandar pada uang kartal yang beredar. Maka kebutuhan hanya akan terpenuhi sekiranya seseorang memiliki uang, namun jika tidak, kayu bakar yang tersedia hanyalah tumpukkan persiapan apabila ada yang kemungkinan bisa dimasaknya nanti. Akan tetapi, tahukah anda betapa memprihatinkan bila mendapati bahwa uang yang beredar sebagian besar hanya tersirkulasi di perkotaan saja. Hal itu tercermin dari sulitnya memperoleh uang di pedesaan.

 

Sedangkan di desa masih cenderung minim transaksi keuangan, termasuk dikawasan desa yang hingga kini masih terisolasi. Walau posisi uang yang beredar dalam arti luas pada Desember 2022 lalu, tercatat sebesar Rp 8.525,5 triliun atau tumbuh 8,3% (yoy). Namun peredarannya tidak disebutkan, berapa persen rasio peredaran uang di perkotaan dan berapa persen pula yang menjadi sirkulasi uang di pedesaan. Itulah realitas atas aktifitas pedesaan yang tidak lagi bertumpu pada garapan tanah akibat sirnanya kepemilikan lahan pertanian mereka. Bahkan jika era Soekarno melalui landreform agar menjawab kepastian terhadap kepemilikan tanah-tanah garapan, oleh karena pentingnya penguasaan tanah yang diperuntukkan bagi para petani di desa. Namun pada era Soeharto tanah-tanah tersebut seakan-akan diobral kepada para kroni-kroninya hingga menguasai setiap penjuru wilayah tanah air, sehingga menjadikan petani-petani di desa hanya layaknya kuli garapan semata.

 

Belum lagi aksi borong-memborong tanah sebagaimana pemberitaan Serikat Petani Indonesia atau SPI.or.id tertanggal 12 November 2009, yang menyebutkan perilaku investor asing bernama Bin Laden Group. Dimana tahun 2009 mereka telah menyatakan akan menginvestasikan US$ 2 miliar untuk pembukaan food estate di Lampung dan Sulawesi Tengah. Sebelumnya grup yang sama telah berencana menggelontorkan US$ 4,37 miliar untuk membuka lahan pertanian pangan seluas 500.000 hektare di Merauke, Papua. Selain investor asing, perusahaan raksasa nasional seperti Medco Energi, Sinar Mas Group, dan Artha Graha juga melakukan hal serupa. Perusahaan-perusahaan ini memutuskan terjun dalam bisnis pangan dengan membuka food estate seluas 585.000 hektar di daerah yang sama pula.

 

Banyaknya tanah-tanah negara yang berasal dari aset PTPN dan tercatat dalam pendataan aset negara melalui kementerian keuangan, nyatanya tidak memupuskan persengketaan terhadap status kepemilikan tanah dari tangan-tangan pihak swasta yang mengklaim penguasaan tanah negara diberbagai daerah. Walau pemerintah menunjuk kementerian BUMN melakukan pengawasan terhadap penggunaan tanah negara yang dikelola PTPN demi pengusahaan budidaya tanaman, meliputi pembukaan dan pengolahan lahan, pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemungutan hasil tanaman, termasuk aspek pemasaran dan lain sebagainya, bahkan pengembangan usaha bidang Perkebunan, Agrowisata, Agro Bisnis, dan Agro Industri. Namun anehnya, penugasan terhadap PTPN ini justru mendatangkan persoalan terhadap status kepemilikan tanahnya.

 

Faktanya, penguasaan tanah oleh PTPN sering dikaitkan dengan penerbitan HGU. Walau pemberian izin HGU yang semestinya diberikan kepada pihak swasta, dimana aset-aset PTPN seharusnya tidak memerlukan legitimasi status tanah tersebut, oleh karena penugasan khusus kepada PTPN merupakan perusahaan yang berstatus milik negara pula. Betapa lucunya jika pemerintah selaku pengelola negara serta dengan hak dan kewenangan tersebut justru digunakan untuk menerbitkan status tanah HGU terhadap aset-aset yang dikuasainya, dalam arti bahwa tujuan penerbitan HGU itu untuk mengamankan status dirinya sendiri selaku pemilik tanah yang sah. Belum lagi keanehan yang terjadi jika kita melihat fakta, bahwa begitu banyaknya masa berlaku HGU swasta yang telah habis dan tidak lagi diperpanjang, namun tidak serta-merta (secara otomatis) kembali dikuasai negara, oleh karena tidak ditariknya sertifikat dari pemegang haknya.

 

Keadaan tanah-tanah yang berstatus-quo semacam ini sering menjadikan pihak-pihak tertentu memanfaatkan aksi pengambil-alihan status tanah tersebut dengan berbagai macam cara. Ada yang menguasainya dengan membeli hak garap dari rumpun tani sekiranya tanah-tanah tersebut merupakan lahan eks PTPN sekaligus menindihnya dengan aspek legalitas dari SK Bupati / Walikota yang sesungguhnya bukan merupakan pihak pejabat negara yang memiliki kewenangan atas aset tersebut. Atau melakukan transaksi jual beli bawah tangan dari HGU swasta yang telah habis masa berlakunya untuk dijual kepada pihak lain, yang selanjutnya melakukan proses perpanjangan ulang keatas lahan yang menjadi objek HGU tersebut. Tentu saja ini sebagai upaya ilegal yang semestinya mampu dicegah oleh pejabat negara sekiranya pemantauan keatas lahan HGU itu secara cermat ditangani.

 

Hal lain pun terjadi manakala gugatan terhadap aset-aset PTPN yang datang dari pihak swasta maupun perorangan dengan membawa-bawa pengakuan kepemilikan sebagai tanah berstatus partikelir, yang tanah tersebut merupakan tanah “eigendom” di mana statusnya telah ditetapkan sejak berlakunya UU no 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Ditambah lagi keberadaan UU Pokok Agraria tahun 1960, yang mana didalamnya terdapat tiga tujuan, yaitu menata ulang struktur agraria yang berkeadilan, menyelesaikan sengketa / konflik agraria, serta mensejahterakan rakyat setelah reforma agraria yang dijalankan. Namun kenyataannya, hingga saat ini pemerintah terkesan gamang untuk menyelesaikan persengketaan tanah yang terkesan berlarut-larut, atau malah pihak yudikatif (para Hakim) yang justru tidak memahami UU pertanahan secara utuh sehingga pemerintah malah sering dikalahkan.

 

Padahal status tanah eigendom adalah tanah yang penguasaan hak miliknya berlaku pada zaman kolonial Belanda, dimana eigendom ini hanya dapat dimiliki oleh orang Eropa dan Timur Asing, namun terhadap orang pribumi juga dapat memiliki eigendom dengan status agrarische eigendom. Eigendom dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu eigendom biasa dan eigendom verponding. Status tanah eigendom ini, sebenarnya sudah tak diakui lagi di Indonesia. Karena, sejak berlakunya Undang-Undang Agraria No. 5 tahun 1960, maka, dalam jangka waktu 20 tahun, tanah-tanah bekas hak Barat itu diharuskan untuk dikonversi menjadi Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Guna Usaha. Walau status Eigendom ini sudah tidak diakui lagi, namun Badan Pertanahan Nasional tetap mewajibkan bagi setiap pemohon konversi hak untuk melampirkan berkas-berkas Eigendom ini sebagai asal usul kepemilikan atas penguasaan lahan yang dimohonkan.

iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *