Jakarta – Dalam Halaqah Nasional Pengasuh Pesantren bertema “Fiqih Siyasah: Penguatan Kemandirian Pesantren untuk Stabilitas Nasional” di Pesantren Al Muhajirin Purwakarta, Jawa Barat.
Dihadiri Menko Polhukam Mahfud MD, Dr. As’ad Said Ali (Mantan Waka BIN), KH Masdar Farid Mas’udi (Rais Syuriah PBNU), KH Dr Abun Bunyamin (Pengasuh Pesantren Al-Muhajirin), Ketua Yayasan Al-Muhajirin, Dr. Hj. Ifa Faizah Rohmah, M.Pd,
Prof Waryono (Direktur PD Pontren), Yon Arsal (Staf Ahli Kemenkeu RI), Dr. Mohammad Syukron Habibie (Senior Vice President BSI), Pipin Moh Saiful Arifin (Sekretaris Badan Ekonomi Syariah Kadin Indonesia), Dr Ir Mahfud (Sekretaris Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK RI), KH Abdul Moqsith Ghazali (Katib Syuriah PBNU), Dr. Rumadi Ahmad, (Staf Khusus KSP Republik Indonesia).
Menkopolhukam Mahfud MD, mengajak semua yang hadir dalam Halaqah Nasional untuk hijrah menuju Indonesia emas.
“Dari Pondok Pesantren Al-Muhajirin ini, mari kita semua menjadi Muhajirin orang-orang yang hijrah menuju Indonesia emas. Indonesia emas itu dalam bahasa arabnya adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur,”
Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus dijaga, tidak boleh diskriminatif dan tidak boleh menganggap orang lain yang berbeda sebagai musuh. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah produk ijtihad para ulama dan para tokoh pendiri bangsa lainnya yang terdiri dari berbagai latar belakang.
“Menurut fiqh siyasah, negara itu adalah organisasi politik tertinggi bagi bangsa Indonesia,
“Tirulah Nabi Muhammad. Kalau baca 47 pasal dalam Piagam Madinah, isinya perlindungan kepada setiap orang bahkan setiap suku disebut, semua dilindungi, agamanya beda-beda, sukunya beda-beda, itulah yang kemudian dituangkan di dalam konstitusi dan tata hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”
Ketua Yayasan Al-Muhajirin, Dr. Hj. Ifa Faizah Rohmah, M.Pd, mengatakan, Perhimpunan pengembangan pesantren dan masyarakat’ (P3M) adalah sebuah lembaga atau organisasi sosial kemasyarakatan dan non-pemerintah (NGO) yang berbasis pada komunitas pesantren sebagai pusat pendidikan dan keagamaan masyarakat .
“Kami keluarga besar Al-Muhajirin merasa bahagia, bangga diberikan kepercayaan oleh P3M untuk menjadi shohibul bait, pada kegiatan ini, dan mudah-mudahan kehadiran para kyai para alim ulama di pondok pesantren Al Muhajirin tentu menjadi keberkahan untuk kami.”
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) memutuskan untuk menolak lingkungan pesantren dijadikan lokasi kampanye politik jelang pemilihan umum atau Pemilu 2024.
Direktur P3M, Kyai Sarmidi Husna mengatakan : Tiga isu penting yang perlu dibahas dan perlu dicarikan rumusan serta solusinya.
Poin Pertama, terkait pajak di pesantren yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap negara dalam mencerdaskan anak bangsa.
Seringkali pesantren tiba-tiba mendapat tagihan pajak yang memberatkan, tanpa didahului sosialisasi dan edukasi. Dalam halaqah ini, para pengasuh pesantren meminta pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif, sebelum melakukan pemungutan pajak pesantren.
Termasuk memberikan keringanan pajak serta rekomendasi kepada pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) untuk membentuk tax-center di pesantren.
Poin kedua, tentang pentingnya transformasi digital di pesantren. Saat ini transformasi digital bukan lagi pilihan, tapi telah menjadi keharusan, sementara pesantren saat ini masih belum melek dunia digital.
“Dalam halaqah ini, pesantren diharapkan lebih inisiatif dan adaptif terhadap proses transformasi digital. Di sisi lain, para pengasuh pesantren mendorong pemerintah untuk dapat memfasilitasi penguatan infrastruktur dan ekosistem digital di pesantren secara menyeluruh,” ujarnya.
Sedangan poin ketiga, penting dibahas dalam halaqan ini terkait perhelatan Pemilu 2024, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa fasilitas lembaga pendidikan boleh digunakan untuk kampanye, termasuk pesantren dengan izin dari penanggung jawab (pengasuh pesantren).
Kyai Sarmidi menegaskan, dalam halaqah ini, para kyai melihat kampanye politik di pesantren akan berdampak negatif, mengingat kampanye di pesantren selalu untuk mendulang suara, bukan untuk pendidikan politik. Situasi ini menurut para pengasuh pesantren bisa menimbulkan gejolak dan ketegangan, baik antar pesantren, alumni pesantren maupun masyarakat secara luas. (LSN/red)