“Arwah Penasaran Hantu Cantik”

oleh
Gambar Ilustrasi
iklan

“Bagian 1: Gadis di Tengah Hujan”

Malam itu hujan deras mengguyur Desa Suryanegara. Hujan yang turun tidak seperti biasanya, membawa hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang. Jalanan desa yang biasanya sepi semakin lengang, hanya terdengar derai hujan dan suara angin yang menderu di antara pepohonan.

Di sudut desa, terdapat rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu berdiri di pinggir hutan, terlupakan oleh waktu dan nyaris roboh. Orang-orang desa menyebutnya “Rumah Sumarni,” merujuk pada pemilik terakhir yang dikabarkan hilang secara misterius puluhan tahun yang lalu.

Dita, seorang mahasiswi jurusan arkeologi, tengah melakukan penelitian tentang mitos-mitos lokal. Desas-desus tentang Rumah Sumarni dan berbagai cerita yang mengiringinya menarik perhatiannya. Berbekal kamera dan buku catatan, ia nekat mengunjungi rumah itu, meskipun sudah diperingatkan oleh warga setempat untuk tidak mendekatinya.

Hujan yang turun tak menghalanginya. Dita percaya, di balik cerita-cerita menyeramkan, selalu ada fakta sejarah yang menarik untuk diungkap. Dengan jas hujan menutupi tubuhnya, ia berjalan menuju Rumah Sumarni, menerobos hutan kecil yang mengelilingi bangunan itu.

Ketika Dita sampai di depan rumah, suasana semakin mencekam. Gelap dan sunyi, hanya gemerisik hujan dan sesekali suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin. Ia merapatkan jaketnya, mencoba mengusir rasa dingin yang menjalar di tubuhnya.

Perlahan, ia membuka pintu rumah yang sudah usang. Pintu itu berderit pelan, seolah menjerit, menambah keangkeran suasana. Bau lembab menyeruak, bercampur dengan aroma tanah basah dari lantai yang sudah lama tidak terawat. Dita menyalakan senter, memeriksa ruangan demi ruangan.

Di ruang tamu, ada beberapa perabotan tua yang tertutup debu. Foto-foto lama terpajang di dinding, menampilkan wajah-wajah yang asing bagi Dita. Ia mendekat, meneliti satu persatu foto itu, dan berhenti pada sebuah foto seorang gadis muda berambut panjang yang tampak cantik namun muram. Wajahnya memancarkan kesedihan yang mendalam.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari arah tangga yang menuju ke lantai dua. Dita tersentak, menoleh dengan cepat, namun tidak melihat siapa pun. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia memutuskan untuk naik ke atas, memastikan sumber suara itu.

Tangga kayu yang sudah rapuh berderit di setiap langkahnya. Hatinya berdegup kencang, tapi ia terus maju. Di lantai dua, hanya ada satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Cahaya senter Dita menyorot pintu itu, dan ia merasakan ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu tersebut. Di dalam ruangan, ia melihat sebuah meja rias dengan cermin besar di depannya. Cermin itu tampak terawat, berbeda dengan kondisi sekelilingnya yang sudah lapuk dimakan waktu. Seolah-olah cermin itu menyimpan rahasia yang tidak bisa diabaikan.

Dita mendekat dan memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Saat itulah, tiba-tiba muncul bayangan seorang gadis di belakangnya. Dita terkejut, berbalik, namun tidak ada siapa pun di sana. Ketika ia menoleh kembali ke cermin, gadis itu masih ada, menatapnya dengan tatapan kosong dan penuh kesedihan.

Gadis itu tampak seperti sosok di foto yang dilihat Dita di ruang tamu. Rambutnya panjang terurai, wajahnya cantik namun pucat, seolah tidak pernah tersentuh sinar matahari. Gadis itu membuka mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Yang ada hanya air mata yang mengalir dari matanya, membasahi pipinya yang dingin.

Dita merasa ada yang tidak beres. Ia mundur perlahan, namun bayangan itu semakin mendekat, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Gadis itu akhirnya berbisik, suaranya terdengar seperti angin yang berdesir pelan, “Tolong… tolong aku…”

Dita menggigil, bukan karena dingin, tapi karena suara itu penuh dengan rasa putus asa yang menghantui. Sebelum sempat merespon, tiba-tiba pintu ruangan itu menutup dengan keras, membuatnya terperangkap di dalam. Dita berusaha membuka pintu, tapi seolah ada kekuatan tak terlihat yang menahannya.

Suara tangisan mulai memenuhi ruangan, semakin keras dan menyayat hati. Dita menutupi telinganya, berusaha mengabaikan suara itu, tapi tangisan itu semakin menusuk. Ketika ia melihat ke arah cermin lagi, gadis itu masih ada, namun kini wajahnya berubah menjadi mengerikan, penuh dengan luka dan darah.

Dita merasa kepalanya berputar, seolah kehilangan keseimbangan. Ia jatuh terduduk di lantai, masih berusaha membuka pintu, namun sia-sia. Ketika ia berpaling kembali ke cermin, bayangan gadis itu sudah hilang, digantikan oleh bayangan dirinya sendiri yang tampak ketakutan.

Hening tiba-tiba menyelimuti ruangan, seolah semua kembali normal. Tapi Dita tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, dan tanpa pikir panjang, Dita lari keluar dari ruangan itu, menuruni tangga secepat mungkin.

Sesampainya di lantai bawah, Dita melihat pintu depan rumah terbuka lebar, seperti mengundangnya untuk segera pergi. Namun, sebelum ia bisa melangkah keluar, ia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.

Di depan pintu, berdiri sosok gadis yang sama, kini tampak lebih jelas di bawah cahaya bulan yang mulai muncul di balik awan. Gadis itu menatap Dita dengan mata yang kosong, dan perlahan mengulurkan tangannya, seolah meminta bantuan.

Dita merasa ada beban berat di dadanya. Ia tidak bisa bergerak, hanya bisa menatap gadis itu yang semakin mendekat. Tiba-tiba, gadis itu berbicara lagi, “Bantu aku… temukan jasadku…”

Sebelum Dita sempat merespon, gadis itu menghilang begitu saja, seperti asap yang tertiup angin. Dita jatuh terduduk di depan pintu, napasnya tersengal-sengal. Hujan masih turun, namun kini terdengar lebih pelan, seperti memberikan jeda untuk berpikir.

Malam itu, Dita tidak bisa tidur. Bayangan gadis itu terus menghantui pikirannya. Kata-kata terakhirnya terngiang-ngiang di telinganya, memintanya untuk menemukan jasad yang hilang. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan, namun tidak tahu harus mulai dari mana.

***

Keesokan paginya, Dita memutuskan untuk kembali ke desa dan mencari tahu lebih banyak tentang Rumah Sumarni. Ia mendatangi rumah seorang tetua desa, Pak Joko, yang diyakini tahu banyak tentang sejarah desa itu.

Pak Joko menyambutnya dengan ramah, meskipun wajahnya tampak sedikit cemas ketika Dita menyebutkan Rumah Sumarni. “Kamu ke sana tadi malam?” tanya Pak Joko, suaranya bergetar.

Dita mengangguk, lalu menceritakan apa yang dialaminya. Pak Joko terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Gadis yang kamu lihat itu mungkin Sumarni. Dulu, dia adalah gadis paling cantik di desa ini, tapi nasibnya malang. Dia hilang tanpa jejak, dan sampai sekarang tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya.”

Dita mendengarkan dengan seksama. “Ada yang bilang dia dibunuh, ada juga yang bilang dia bunuh diri karena patah hati. Yang pasti, sejak dia hilang, rumah itu selalu dianggap angker. Banyak yang bilang arwahnya tidak tenang, dan sering menampakkan diri.”

Pak Joko menatap Dita dengan serius. “Jika dia meminta bantuanmu untuk menemukan jasadnya, mungkin memang sudah saatnya kebenaran itu terungkap. Tapi kamu harus berhati-hati, Dita. Ada banyak rahasia gelap di desa ini yang lebih baik tidak diungkap.”

Dita merasa tekadnya semakin kuat. Ia harus membantu arwah Sumarni menemukan kedamaian, apa pun yang terjadi. Ia tahu, jalan yang akan ditempuh tidak mudah, tapi ia sudah terlanjur terlibat terlalu jauh untuk mundur.

Dengan informasi dari Pak Joko, Dita kembali ke rumah itu keesokan harinya, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Ia tidak lagi sekadar ingin meneliti, tapi juga merasa bertanggung jawab untuk membantu arwah yang tersesat itu.

Setibanya di rumah itu, Dita langsung menuju lantai dua, tempat cermin besar berada. Ia merasa ada sesuatu di cermin itu yang bisa membantunya menemukan petunjuk.

Nantikan Seri Berikutnya besok malam jum'at.
iklan

Pewarta : Redaksi Istana

Gambar Gravatar
Deskripsi tentang penulis berita di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *