Kisah Datuk Batuah, ‘Haji Merah’ dari Sumatera Barat

oleh
iklan

Pada tahun 1920-an, ketika benih marxisme mulai masuk ke Indonesia, yang menyebarkannya ke bumi—rakyat—adalah para Haji. Mereka mengibarkan panji-panji “Islam Komunis”.

Di Jawa, penggerak utamanya bernama Haji Misbach. Ia adalah seorang mubaligh didikan pesantren. Selain itu, Misbach sudah menunaikan ibadah Haji di Tanah Mekah. Dan, jangan salah, dia bisa berbahasa Arab.

Di Sumatera Barat, sosok seperti Haji Misbach juga ada. Dia adalah Haji Ahmad Khatib alias Haji Datuk Batuah. Ia lahir tahun 1895, di Koto Laweh, Padang Panjang. Ayahnya, Syekh Gunung Rajo, adalah seorang pemimpin Tarekat Syattariyah.

Datuak Batuah beroleh perintah meninjau keadaan sekolah Thawalib di Aceh, pada 1920. Asisten Haji Rasul, ayah Hamka, mengajar di Sumatra Thawalib tersebut berjumpa seorang propagandis Serikat Buruh Kereta Api (VSTP) bernama Natar Zainuddin, berdarah Minang-India.

Mereka berbincang ragam pembahasan. Datuk Batuah dan Natar langsung akrab. Keduanya merupakan anak muda dengan semangat pembaruan nan berapi-api. Pada tahun 1923, mereka berangkat ke tanah Jawa jadi peserta Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Sarekat Rakyat (SR) di Bandung, Jawa Barat.

Dalam pertemuan itu juga, Batuah bertemu Haji Misbach, seorang anggota Sarekat Islam paling berpengaruh di Surakarta. Setelah keluar penjara, Misbach memilih bergabung dengan faksi Komunis pecahan Sarikat Islam.

Sikapnya di hadapan kongres untuk bergabung dengan Komunis sebagai bentuk pembuktian kesilaman sejati, menurut, menurut Takashi Siraishi pada Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, sangat memperngaruhi Datuk Batuah.

Ia menjadikan pandangan Misbach sebagai buah tangan. Bersama Djamaluddin Tamin, Batuah menerbitkan dan mengelola koran Pemandangan Islam, sebagai corong ide-ide progresifnya selama di Thawalib.

“Koran ini berhasil mempertemukan ilmu tentang pengaturan masyarakat demi mencapai kemaslahatan rakyat banyak dalam nestapa kemiskinan dengan tujuan-tujuan dan kewajiban-kewajiban dalam keyakinan Islam hakiki,” tulis HJ Benda dan Ruth T McVey pada The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia.

Segendangsepenarian, konconya, Natar Zainuddin, menurut Audrey Kahin pada Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998, menyuarakan pemikiran serupa melalui korannya Djago-Djago, walaupun seruannya secara terbuka ditujukan kepada kaum ‘proletar’.

“Kedua surat kabar ini sama-sama menyuarakan kesamaan antara Islam dan Komunisme dalam perjuangan menentang kapitalisme dan kolonialisme,” tulis Kahin.

Putra Syekh Gunung Rajo

Datuk Batuah merupakan putra Syekh Gunung Rajo, seorang pemimpin Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Ia lahir pada tahun 1895 di Koto Lawas, dekat Padang Panjang. Batuah lulusan sekolah dasar Belanda, lalu melanjutkan menuntut ilmu di Mekah kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi selama enam tahun (1909-1915).

Sekembali berguru dari tanah suci, Batuah masuk perguruan Sumatra Thawalib. Di sana, ia bertemu dan sering berdebat sengit dengan Haji Rasul.

“Dia dianggap sebagai salah seorang murid Haji Rasul paling pintar dan dinamis,” tulis Kahin.

Batuah pun diangkat menjadi asisten Haji Rasul mengajar di Thawalib.

Sebagai asisten pengajar pun, Batuah masih sering berdiskusi dengan Haji Rasul begitu sengit. Haji Rasul sangat otokratis dan konservatif. Ia menentang ide-ide radikal kesukaan murid-muridnya.

Merasa sudah matang dengan pergerakannya di Ranah Minang, pada 4 November 1923, Batuah mendeklarasikan Partai Komunis Indonesia cabang Padang Panjang dengan struktur, Ketua Haji Datuk Batuah, Sekretaris Djamaluddin Tamim, Anggota Natar Zainuddin dan Datuak Machudum Sati.

Sejak itu, Datuk Batuah menjelma menjadi propagandis Komunis. Ia mebumikan ide-ide Marxisme sesuai logat Minang menjadi “Ilmu Kumunih”. Banyak pedagang tergoda “Islam Komunis” Batuah lantaran menurutnya Islam mengharamkan praktek riba dan melarang umatnya menumpuk harta.

Batuah membingkai ide-ide Marxisme ke dalam ruh keislaman dan lokalitas Minangkabau.

“Konsep dasar Datuak Batuah pada dasarnya hampir sama dengan perlawanan yang dikobarkan kaum Padri, Siti Manggopoh, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan lain sebagainya,” tulis Fikrul Hanif Sufyan dalam Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah 1923-1949.

Propaganda Datuak Batuah berhasil, rakyat pun berbondong-bondong menjadi anggota PKI.

Berumur Pendek

Kampanye dan propaganda Batuah lambat-laun membuat merah kuping Pemerintah Belanda. Mereka berbalik menuding Batuah bersekongkol dengan para penghulu adat untuk memberontak terhadap pemerintah dan membunuh orang-orang Eropa, termasuk asisten residen Padang Panjang.

Akhirnya, baru 2 bulan beraktivitas di Padang Panjang, Belanda menggeledah International Debating Club (IDC). Itu terjadi tanggal  11 November 1923. Saat itu, aktivis IDC sedang melipat-lipat koran Djago-Djago! Tiba-tiba datang Polisi bersenjata lengkap menggeledah tempat itu.

Natar Zainuddin dan Datuk Batuah ditangkap. Sehari kemudian, para aktivis PKI Padang Panjang dan anggota Redaksi Djago-Djago juga mulai ditangkapi oleh Belanda. Sebulan kemudian, Djamaluddin Tamin juga ditangkap.

Datuk Batuah dan Natar Zaimuddin dibuang ke Timor (NTT). Natar Zainuddin dibuang ke Kafannanoe (Kefamenanu), sedangkan Datuk Batuah dibuang ke Kalabai (Kalabahi, Alor). Namun, meski di pembuangan, Datuk Batuah tetap aktif berjuang.

Bersama dengan  Christian Pandie, aktivis Timor, mendirikan organisasi bernama Partai Serikat Timor. Tak lama kemudian, partai ini berganti nama menjadi Partai Serikat Rakyat. Azasnya tetap: Komunisme! Sayang, ketika meletus pemberontakan PKI tahun 1926, aktivis Partai Sarekat Rakyat turut ditumpas Belanda.

Pada tahun 1927, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dipindahkan ke Boven Digul, Papua. Tidak banyak dokumentasi terkait kehidupan Datuk Batuah dan Natar selama di Digul. Begitu Jepang merengsek masuk Indonesia, Datuk Batuah dipindahkan New South Wales, Australia.

Konon kabarnya, Datuk Batuah dan istrinya, Saadiah, sempat kembali ke Indonesia dan tinggal di Solo, Jawa Tengah. Dalam buku Soe Hok Gie, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, disebutkan bahwa Datuk Batuah masuk daftar anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia mewakili Solo bersama DN Aidit dan Alimin.

Tahun 1948, Ia kembali ke kampung halamannya: Koto Laweh, Padang Panjang. Di sana ia tetap berpropaganda komunisme. Datuk Batuah meninggal dunia tahun 1949.(nusatoday.Id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *