Sistem Politik Islam dalam Pandangan Muhammadiyah

oleh
iklan

YOGYAKARTA – Muhammadiyah memandang segala urusan politik, sampai dengan sistem politik masuk sebagai ranah ijtihad. Sebab Nabi Muhammad tidak pernah menunjuk secara definitif, absolut, dan tunggal sebuah sistem politik Islam.

Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam diskusi Rakernas Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada (29/9).

Haedar menjelaskan, sejak setelah meninggalnya Nabi Muhammad, umat Islam melewati berbagai perdebatan tentang bentuk sistem politik. Karena memang tidak disebutkan secara ‘jahr’ oleh nabi tentang bentuk pemerintahan Islam itu seperti apa.

“Realitas ini sebagai sinyal kuat bagi kita, baik pembelajar ilmu politik Islam maupun kita sebagai elit maupun umat Islam untuk menempatkan politik yang rentangan aspek dan cara pandangnya yang A sampai Z,”  ungka Haedar.

Melacak Sistem Politik Islam di Al Qur’an

Sebab jika merujuk pada Al Qur’an dan Hadis tidak ada sistem politik tunggal yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad. Realitas tersebut menjadikan muslim modern tidak memiliki pilihan tunggal ihwal sistem politik, baik sebagai entitas nation maupun sebagai entitas state di negara-negara Islam.

“Karena memang bahan dasarnya berada pada wilayah ijtihad. Masalah kemudian terjadi di kemudian hari ada golongan-golongan yang dengan pandangan absolute, dan memutlakan pandangan-pandangan politik dan sistem politik tunggal,” sambung Haedar.

Dikemudian hari, dengan menguatnya kelompok islamis melahirkan dan mendefinitifkan sistem politik Islam yang tunggal dan absolute. Karena pandangan ini, politik Islam menurut Bahtiar Effendy kehilangan tiga aspek yaitu negosiasi baik di kalangan sendiri maupun dengan pihak lain.

Kedua, karena sistem politik tunggal dan serba prinsip umat Islam kehilangan atau tidak bisa untuk beradaptasi. Dan yang ketiga karena sistem politik tunggal tersebut umat Islam kehilangan atau tidak bisa berkompromi.

“Akibat tidak bisa mengelola tiga hal itu maka terjadilah kegagalan politik Islam, dan kegagalan ini menambah dan mengakumulasi politik Islam semakin rigid, reaktif, dan semakin ingin tunggal, dan gagalnya semakin kuat. Dan dari ini kemudian lahir neo-revivalisme Islam, neo-fundamentalisme Islam,” terang Haedar.

Haedar memandang kecenderungan sikap partai politik sekarang, yang mengatasnamakan Islam lebih cenderung kepada neo-fundamentalisme Islam. Menurutnya, kecenderungan tersebut semakin membuka potensi kegagalan-kegagalan yang akan terus berulang.

Berangkat dari kenyataan tersebut, Haedar Nashir mendorong kader-kader Muhammadiyah untuk memperkaya kemampuan ushul fikih dalam melihat politik kebangsaan maupun orientasi real politik.(WH/Red)

iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *