Sosok Pakubuwono IV

oleh
iklan

Kepemimpinan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana IV di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, 1788-1820, kerap kali dihubungkan para sejarawan dengan Peristiwa Pakepung, November 1790. Dalam peristiwa itu, pasukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kadipaten Mangkunegara bersama-sama mengepung Kraton Solo.

Musuh-musuh Pakubuwana IV itu mengerahkan ribuan prajurit. Beberapa ribu prajurit Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara ditempatkan di sekitar Surakana. Sedangkan VOC menambahkan personel ke bentengnya di dalam Kota Solo dengan ratusan serdadu Madura, Bugis, Melayu, dan Eropa. Mereka bersatu karena gentar setelah tersiar desas-desus yang menyebutkan Pakubuwono IV akan memerangi VOC dan orang-orang Eropa di Tanah Jawa.

Pangkal desas-desus itu adalah karena Pakubuwana IV yang kala itu masih berusia 22 tahun dan baru dua tahun bertakhta itu mengganti pejabat-pejabat penting istana dengan orang-orang yang lebih ia percaya. Pemerintahan warisan ayahnya, Pakubuwono III, kental aroma persekongkolan, sedangkan pejabat VOC yang kerap mengintervensi kraton sangat korup sampai-sampai raja berjuluk Sunan Bagus karena naik tahta dalam usia muda dan berwajah tampan itu membenci ras Eropa.

Orang-orang baru di sekitar Pakubuwono IV itu menyuntikkan optimisme bahwa legitimasi dan kewibawaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merosot akibat Perjanjian Gianti dan Perjanjian Salatiga sehingga wilayahnya terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara bisa dipulihkan. Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai kerajaan paling senior di antara penerus lain dinasti Mataram mestinya bisa menjadi kerajaan yang utama.

Munculnya orang-orang baru yang oleh M.C. Ricklefs, profesor Sejarah di Universitas Nasional Singapura, dideteksi sebagai bagian dari tarekat sufi Shatariyya itu, menyebabkan sebagian pangeran dan pejahat tinggi senior istana meresa tersingkir. Mereka terus menekan Pakubuwono IV untuk meninggalkan penasihat-penasihat barunya, sekaligus mendekati VOC agar melawan langkah-langkah yang menurut mereka tengah direncanakan sang raja.

Peristiwa Pakepung adalah wujud konkret keberhasilan intrik para pangeran dan pejahat tinggi senior Kasunanan Surakarta untuk mempertahankan status quo di Kraton Solo. ”Kepentingan-kepentingan pribadi yang menopangnya sedemikian rupa sehingga bahkan para anggota keluarga terdekat seorang raja dan para pegawai istana pun akan menentang usaha sang raja untuk merusaknya,” catat Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia since c. 1200.

Di sisi lain, Peristiwa Pakepung juga menandai kandasnya pemikiran baru terkait pengetahuan Islam yang disampaikan guru baru sang raja. Babad Pakepung yang dikutip Ahmad Wahyu Sudrajad dalam artikelnya di Majalah Jumantara (Jurnal Manuskrip Nusantara) terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebutkan adanya lima tokoh yang dianggap sebagai penyebab berubahnya sikap Pakubuwono IV, mereka adalah Kyai Wiradigda, Panengah, Bahman, Kandhuruhan, dan Nur Saleh.

Pakubuwono IV mengangkat para alim ulama itu sebagai abdi dalem, bahkan Babad Pakepung menyebut mereka sebagai abdi dalem kinasih atau abdi dalem terpercaya. Nyatanya, pengaruh kelima alim ulama itu kepada Pakubuwono IV terbilang besar karena banyak keputusan politik didasarkan raja kepada nasihat-nasihat mereka. Pakubuwono IV mulai menerapkan syariat Islam di Kraton Solo. Pakubuwono juga menjadi giat merayakan Masjid Ageng atau Masjid Agung.

Kendati Pakubuwono II dalam kirab agung perpindahan kraton membawa serta batu-batu pasalatan, padasan, mimbar, dan beduk Masjid Besar Kyai Rembeg dari Kraton Kartasura ke Kraton Solo yang berarti juga masjid telah dibangun sejak Kraton Solo digunakan, namun Masjid Agung Solo kala itu belum sebenar-benarnya agung. Menurut Pustaka Radya Laksana, pemancangan saka guru atau tiang utama Masjid Ageng pun baru dilakukan pada tahun Wawu 1689 oleh Pakubuwono III.

Sedangkan pembangunan sesungguhnya Masjid Agung itu baru dilakukan oleh Pakubuwono IV pada Ehe 1716 sesuai kalender Jawa atau 1789 Masehi. Bukan hanya membangun fisik bangunannya, Pakubuwono IV setiap hari Jumat juga pergi ke Masjid Agung itu untuk melaksanakan salat Jumat, bahkan sering kali pula ia tampil langsung sebagai khatib atau penyampai khotbah Jumat.

Pakubuwono IV juga secara tegas menindak, menggeser, atau bahkan memecat abdi dalem yang tidak patuh kepada syariat Islam, seperti yang dialami Tumenggung Pringgoloyo dan Tumenggung Mangkuyudo. Pakubuwono IV juga memberlakukan peraturan yang mengharamkan minuman keras dan madat atau mengisap candu sebagaimana ajaran agama Islam.

Menanggapi perubahan di Kraton Solo itu, kompeni kemudian mengirim utusan yang dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noorden Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve. Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan Greeve berada di Surakarta untuk memaksakan tuntutan VOC kepada Pakubuwono IV.

Tuntutan Jan Greeve hanya satu, yakni Pakubuwono IV harus menyerahkan kelima orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka dianggap sebagai biang keladi perubahan di Kraton Solo. Berbeda dengan Babad Pakepung koleksi Museum Sanapustaka Keraton Solo, Babad Panambangan menyebut ada enam orang yang menjadi target Tuwan Deler Yan Krope, mereka adalah Raden Santri, Pangeran Panengah, Raden Wiradigda, Raden Kandhuruan, Kyai Bahman, dan Kyai Nursaleh.

Sumber kolonial menyebut para penasihat baru Pakubuwono IV itu sebagai panepen yang berarti alim ulama. Sedangkan, sumber berbahasa Jawa, seperti Babad Pakepung dan Serat Wicara Keras, menyebut mereka sebagai abdi dalem santri. Sedangkan Babad Panambangan menyebut kalangan itu sebagai santri ngulama.

Apabila para pemuka agama itu tidak diserahkan Pakubuwono IV untuk selanjutnya dibuang oleh VOC , Jan Greeve mengancam akan membiarkan Kraton Solo dikepung pasukan VOC, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegara. Sunan Bagus perintis penerapan syariat Islam di Kraton Solo itu pun ditekan para kerabat istana untuk memprioritaskan keselamatan kerajaan dari ancaman musuh-musuh Kasunanan Surakarta Hadiningrat tersebut.

 

Sumber:

  • Pakempalan Ngarang Serat ing Mangkunagaran. 1918. Babad Panambangan, Commisie voor de Volkslectuur. Serie No. 392. Weltepredhen: Indonesise Drikkere.
  • Ricklefs, M. C.. 2008. A History of Modern Indonesia since c. 1200, New York: Palgrave MacMillan.
    Ricklefs, M.C.. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
  • Sastrawikrama, Mas Ngabei. 1926. Serat Wicara Keras. Kediri: Tan Gun Swi.
  • Sudrajad, Ahmad Wahyu. 2014. Menelusuri Jejak Kehidupan Ulama dan Cendekiawan pada Masa Kolonial
  • Dalam Teks Maulid Qashor H. Tabri di Surakarta dalam Majalah Jumantara (Jurnal Manuskrip Nusantara) edisi Vol. 5 No. 1 – April 2014. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
  • Yusuf, Choirul Fuad (ed). 2013. Dinamika Kehidupan Relijius Kasunanan Surakarta. Jakarta: Puslitbang
  • Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Pewarta : Mas Raden

Gambar Gravatar
Tulis Deskripsi tentang anda disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *